top of page

Membalas Perselingkuhan Suamiku



Ringkasan

Leona harus menelan pil pahit setelah melihat perselingkuhan suaminya, Mark, dengan perempuan muda. Perubahan bentuk tubuh dan tidak kunjung mendapatkan anak menjadi penyebab lelaki itu berpaling dengan wanita lain. Di saat tak terduga, Leona bertemu dengan pria misterius bernama West Taylor. "Siapa kau sebenarnya? Kenapa tiba-tiba muncul di hadapanku?" "Aku dikirim malaikat untuk membantumu." West menyarankan dirinya untuk membalaskan dendam atas pengkhianatan Mark. Tak hanya itu, dia juga menganjurkan Leona untuk menurunkan berat badan agar kembali ke bentuk semula. Leona kembali terlahir menjadi sosok baru dan memulai rencana yang telah disusun bersama West. Dengan sentuhan make-up, ia menjelma menjadi sosok yang tak lagi bisa dikenali Mark. Untuk mengelabui mantan suami, ia juga mengubah identitasnya menjadi Tatiana Clark. Follow IG @Leenagie yaa ^^ Cover designed by Chay_Graphic and owned by LeeNaGie

Romansa Istri Dewasa Perselingkuhan Perceraian Revenge Cinta Pada Pandangan Pertama Pengkhianatan Pernikahan Wanita Cantik


BAB 1: Dunia yang Seakan Runtuh


Suara desahan yang seharusnya terdengar merdu menjadi begitu menyakitkan di telinga wanita yang kini bersembunyi di dalam lemari kayu berukuran besar. Bulir bening membasahi pipi chubby yang dihiasi oleh bintik-bintik cokelat hingga batang hidung. Kedua tangan membekap erat bibir yang sejak tadi bergetar menahan suara tangis yang ingin keluar.

Pujian dan rayuan yang dilontarkan oleh sepasang pezina itu semakin menyesakkan dadanya. Ia marah, sehingga mata abu-abu gelap itu dikelilingi sklera yang memerah. Kali ini ia membuktikan sendiri gunjingan tetangga tentang pria yang telah dinikahinya sepuluh tahun lalu.

Pada awalnya wanita bertubuh gempal itu tidak percaya dengan bisik-bisik tetangga yang mengatakan sang Suami berselingkuh. Ia beranggapan mereka hanya iri dengan rumah tangga yang dibina selalu tenang tanpa masalah berarti. Meski selama sepuluh tahun, belum dikaruniai buah hati.

“Kau jauh lebih menggairahkan dibandingkan istri gendutku, Sherly,” puji pria yang masih tenggelam dalam kesenangan sesaat.

“Tentu saja, Mark. Mana bisa istrimu bercinta dengan beragam pose sepertiku,” balas perempuan berambut pirang.

Leona, wanita yang masih berada di dalam lemari, menutup rapat telinga ketika mendengar percakapan kedua insan tersebut. Kakinya semakin ditekuk sehingga menambah sesak di dada. Keringat mulai mengalir deras seiringan dengan air mata. Hati yang terasa panas, menambah panas suhu tubuhnya yang berada di tempat pengap itu.

“Kalau tidak percaya, kau buktikan saja sendiri. Suamimu itu sering membawa perempuan berambut pirang ke rumah ketika kau pergi.” Kalimat yang dilontarkan tetangga kembali terngiang di telinga Leona.

Setelah berpikir keras, ia menyusun rencana agar bisa membuktikan perkataan mereka. Leona berbohong kepada Mark dengan mengatakan akan pergi ke Netherville untuk menemui sahabatnya. Perangkap yang dirancang berhasil, pria itu membawa perempuan selingkuhannya ke rumah.

Leona kembali meratapi apa yang telah dilihat saat ini. Pengorbanannya selama sepuluh tahun menjadi sia-sia. Masih segar dalam ingatan bagaimana ia meninggalkan keluarga, karena memutuskan untuk menikah dengan pria biasa yang bukan berasal dari kalangan bangsawan. Ya, wanita itu keturunan bangsawan terpandang di daerah Outville.

Dulu Mark memuji kecantikan Leona yang katanya seperti Lady Diana, namun sekarang ia justru mengolok sang Istri di hadapan selingkuhan. Kenyataan ini benar-benar menyakitkan, menghadirkan perih yang teramat sangat di hati perempuan berhati lembut tersebut.

“Mau ke mana?” Mark kembali bersuara.

Leona kembali mendekatkan telinga ke pintu lemari, agar bisa mendengar lebih jelas.

“Pulang, Honey. Aku tidak mau istrimu tiba dan melihat keberadaanku di sini,” sahut perempuan yang bersama dengan Mark.

Mark berdecak pelan menarik lagi wanita bertubuh ramping itu, sehingga terduduk di atas pangkuan.

“Dia akan kembali nanti sore. Masih empat jam lagi.” Mark menyeringai sambil membelai rambut pirang wanita selingkuhannya.

“Bagaimana jika dia kembali sekarang?”

“Biarkan saja. Aku akan menceraikannya, agar bisa menikah denganmu.”

Wanita yang masih bersembunyi di dalam lemari itu semakin mengeratkan genggaman tangan. Napasnya menjadi sesak ketika bayangan perceraian hinggap di pikiran.

“Benarkah?”

“Tentu! Aku akan membuktikannya padamu.”

Tubuh Leona semakin terbakar mendengar perkataan suaminya. Ia sudah tidak tahan lagi. Setelah menarik napas dalam-dalam, tangannya bergerak mendorong pintu lemari sehingga membuat kedua insan itu terperanjat.

“Sebelum hal itu terjadi. Akulah yang akan menceraikanmu, Mark!!” tegas Leona setelah berhasil berdiri tegak.

Dia berusaha menjaga keseimbangan ketika kaki terasa keram akibat terlalu lama ditekuk. Leona tidak ingin terlihat lemah di hadapan pengkhianat yang telah dinikahinya bertahun-tahun.

“Sekarang keluar dari rumahku!!” usir Leona mengacungkan jari telunjuk ke arah pintu keluar.

Perempuan berambut pirang tersebut langsung masuk ke dalam selimut, lantas menutupi tubuhnya. Sementara Mark mendengkus setelah berhasil mengendalikan diri. Tawa singkat keluar dari sela bibir tipis berwarna keunguan itu.

“Rumahmu??!! Apa kau lupa rumah ini sudah menjadi milikku?!” sergah Mark pantang kalah.

Mata abu-abu itu terpejam erat ketika ingat telah setuju untuk mengalihkan kepemilikan rumah menjadi nama Mark Sinclair. Meski pada awalnya rumah ini milik Leona, tapi ia sudah menghibahkannya kepada pria itu.

“Jadi siapa yang harus angkat kaki dari sini?” Mark tersenyum penuh kemenangan seraya merangkul bahu selingkuhannya.

Semburat merah terpancar dari paras Leona saat menahan amarah. Sebagai wanita berpendidikan, ia tahu persis tak akan bisa mengambil lagi rumah tersebut meski melewati jalur hukum. Kebodohan yang diperbuat, mengakibatkan dirinya harus angkat kaki dari kediaman yang dibeli dengan jerih payah sendiri.

Mark berdiri ketika Leona masih bergeming di tempat. Pria itu mengeluarkan seluruh pakaian istrinya dari dalam lemari, lantas dilemparkan asal ke lantai. Tak lama kemudian sebuah koper berukuran jumbo telah teronggok di atas tumpukan pakaian.

“Sampai jumpa di pengadilan nanti, Leona,” ujar Mark setelahnya, “aku beri kau waktu satu jam untuk pergi dari rumah ini. Jangan pernah tunjukkan wajah jelekmu lagi kepadaku! Aku sudah muak denganmu.”

Napas Leona semakin menderu keluar dari hidung dan bibir bersamaan. Tatapan mata abu-abu miliknya tampak tajam melihat perempuan berambut pirang yang tersenyum pongah.

“Aku bersumpah, kau akan menyesali ini semua, Mark!” Dia melempar telunjuk ke tempat perempuan jalang itu tidur. “Wanita itu hanya ingin hartamu yang sebenarnya milikku!!”

“Aku bersumpah tidak akan pernah menerimamu lagi, meski kau merangkak dan memohon agar aku kembali suatu saat nanti,” sambungnya berusaha menegarkan diri meski di dalamnya sangat rapuh.

***

Suara klakson mobil terdengar bersahut-sahutan di kota yang tidak pernah tidur. Asap kendaraan mulai menyesakkan pernapasan, membuat Leona terbatuk sesekali. Otot kaki mulai lelah berjalan menyusuri jalan besar yang masih ramai. Keringat berkucuran di kening hingga leher, hingga membasahi gaun bermotif bunga yang dikenakan.

Ke manakah ia akan pergi sekarang? Sebentar lagi langit mulai gelap. Leona butuh tempat untuk berteduh dan beristirahat. Hanya Mark yang dimilikinya di sini. Rumah yang ditinggalkan tiga jam yang lalu adalah tempat tujuan satu-satunya. Tapi, kini ia tak bisa lagi kembali ke sana.

Tangan dilapisi lemak itu bergerak naik ke pinggir kening, menyeka keringat yang baru saja meninggalkan pori-pori kulit putihnya. Pandangan kembali beredar mencari tempat untuk sekedar melepas penat. Perlahan tangan turun beranjak merogoh tas yang tersangkut di pundak. Dia mengeluarkan dompet berwarna cokelat muda dan melihat isinya.

Desahan pelan meluncur dari sela bibir ketika melihat hanya beberapa lembar uang yang ia miliki. Semua berubah drastis setelah Mark mengusirnya. Selama lima tahun belakangan, Leona memang tak lagi bekerja karena fokus dengan program untuk mendapatkan anak. Namun, seluruh pengorbanannya sekarang menjadi sia-sia setelah apa yang diketahui hari ini.

Leona mulai frustasi. Ia tidak mungkin menjadi gelandangan di kota besar ini. Tak mungkin juga kembali ke rumah keluarganya di Outville. Jika berkunjung ke Netherville, keluarganya pasti akan tahu apa yang akan terjadi. Dia benar-benar sendirian dan mulai ketakutan.

“Aku harus ke mana?” lirihnya memegang perut yang keroncongan.

Malam menjelang. Warna lembayung berganti gelap. Wanita bertubuh gempal itu belum juga menemukan tempat untuk beristirahat. Kaki sudah letih menopang tubuh besarnya.

Pandangan netra abu-abu gelap milik Leona kembali beredar mengamati sekitar. Tilikan berhenti ketika melihat jembatan yang digunakan untuk menyeberang sungai Hannes yang terkenal di Earth Ville. Jembatan tersebut berukuran besar, sehingga dibagi menjadi dua jalur. Di bawahnya terdapat air yang mengalir cukup deras.

Leona bergegas menuju pinggir jembatan dan mengamati derasnya aliran sungai Hannes yang sedikit keruh. Beragam pikiran bergelayut di benak wanita berpipi chubby tersebut.

“Lebih baik aku mati tenggelam di sana daripada menanggung malu,” gumamnya pada diri sendiri.

Selang dua detik kemudian, ia menggelengkan kepala sehingga rambut hitam yang dikuncir tersebut bergoyang ke kiri dan kanan.

Tidak! Aku tidak boleh mati sekarang, bisiknya dalam hati.

Wanita itu kembali terdiam dengan tangan berpegangan erat di besi jembatan. Matanya terpejam erat ketika terjadi perang di dalam diri. Tarikan napas berat terdengar dari hidung mancung berukuran sedang miliknya.

“Kalau mau bunuh diri jangan di sini.” Tiba-tiba terdengar suara bariton dari samping kanan.

Leona terkesiap, lantas melihat ke sumber suara. Terlihat seorang pria berambut cokelat mengenakan baju kaus dipadu dengan celana jeans sobek sedang menatap kepadanya.

Pria asing tersebut menunjuk gedung bertingkat tiga puluh tak jauh dari sana. “Kau bisa bunuh diri di sana. Melompat dari lantai paling atas dan mati tanpa merasakan sakit.”

Laki-laki itu mengerling ke sungai sebelum kembali berujar, “Jika kau melompat ke sana, kemungkinan besar kau akan terseret arus dan sesak napas jika tenggelam. Kau akan menderita terlebih dahulu, sebelum malaikat maut mengambil nyawamu.”

Leona menelan saliva mendengar perkataan pria yang baru saja ditemui. Rasa takut kembali menyelimuti dirinya.

“Kau wanita penakut. Aku jamin tidak akan berani melompat ke bawah sana,” komentar pria itu tersenyum singkat.

Wanita bertubuh gempal tersebut hening. Energi habis terkuras setelah melewati rentetan fakta menyakitkan dalam hidupnya. Leona tidak memiliki tenaga untuk berdebat saat ini.

Lelaki itu mengeluarkan sebatang rokok, kemudian membakar ujungnya dengan macis. Dia mengisap dalam-dalam sebelum mengembuskan asap yang sempat diisap.

“Jangan pernah berpikiran untuk bunuh diri, apapun masalah yang kau hadapi sekarang.” Pria itu masih berceloteh, meski tidak ditanggapi oleh Leona.

Dia mengamati Leona yang sedang diam menatap nanar aliran sungai. “Biar kutebak. Suami atau pacarmu berselingkuh, bukan?”

Mata abu-abu gelap milik perempuan tersebut membulat seketika. Kerutan tampak di antara kedua alis. “Ba-bagaimana kau tahu?” selidiknya menatap curiga.

Pria itu tergelak sambil menunjuk koper dengan ujung dagu. “Apalagi yang membuat seorang wanita gendut ingin bunuh diri, setelah pergi dari rumah?!”

Tangan Leona yang sejak tadi memegang pinggir jembatan turun ke bawah, lalu saling bertautan di depan tubuh. Kepalanya tertunduk dalam. Ternyata orang-orang bisa mengetahui apa yang terjadi dengan hanya melihat kondisinya sekarang.

“Bodoh,” desis pria itu.

“Sorry?”

“Kau bodoh jika ingin mengakhiri hidupmu.”

Kening Leona berkerut bingung, sehingga kedua alis nyaris bertautan. “Aku tidak bodoh,” sanggahnya tersinggung. Dia memang sempat berpikiran untuk mengakhiri hidup, namun sesaat kemudian mengurungkan niatnya.

“Kau bodoh, Nyonya. Jika aku jadi dirimu, aku akan balas dendam.” Seringaian terlihat di sudut bibir dengan lekung sempurna milik pria tersebut.

“Balas dendam?” kata Leona.

Pria itu menegakkan tubuh yang bersandar di besi jembatan. Dia melempar asal puntung rokok ke sungai. Mata biru miliknya menatap lekat wanita berparas chubby tersebut.

“Aku bisa membantumu untuk membalaskan dendam kepada suami atau pacarmu itu. Kau harus buat pria itu menyesal seumur hidup karena telah mencampakkan wanita cantik sepertimu,” jelasnya dengan sebelah alis naik ke atas.

Leona tercenung mendengar perkataan pria asing ini. Kesedihan ternyata membuatnya bodoh, sehingga tidak memikirkan hal tersebut. Ia bisa membuat Mark menyesal seumur hidup, karena telah meninggalkan dirinya demi perempuan jalang.

Sesaat kemudian ia kembali gamang. Balas dendam dibantu pria yang baru saja dikenal? Bagaimana jika orang ini penculik, pemerkosa atau penjual organ? Mark yang dikenal lebih satu dekade saja berani menipunya, apalagi pria asing ini.

“Bagaimana?” Pria itu masih menunggu jawaban Leona.

Bersambung....

Hai, selamat datang di novel keduaku di HiNovel. Semoga suka dengan novel ini yaa. ^^

Jangan lupa tinggalkan review dan pastikan sudah menyalakan kelima bintang sebelum dikirimkan. ^^


BAB 2: Pria Misterius


“Siapa kau sebenarnya? Kenapa tiba-tiba muncul di hadapanku? Kenapa kau menawarkan bantuan?” cecar Leona memberanikan diri.

Pria bermata biru itu tertawa, membuat bibir tipis dengan lengkung sempurna itu nyaris tak terlihat. Dia menarik napas melalui sela gigi yang beradu, masih memandang Leona.

“Wow! Jangan terburu-buru Nyonya.” Dia menegakkan tubuh yang tadi bersandar di besi jembatan. Tangan kokoh itu menarik baju kaus yang dikenakan, sehingga menjadi lebih rapi dibandingkan tadi.

“Aku dikirim malaikat untuk membantumu,” ujarnya tersenyum tipis.

“Bohong!” tuding Leona mundur satu langkah ke belakang.

Kini ia tampak ketakutan. Tubuh yang tadi gemetar akibat lapar, bertambah gemetar karena ketakutan. Siapa yang percaya dengan bualan orang ini. Dikirim malaikat? Apakah ada hal semacam itu di dunia?

“Saya tidak berbohong, Nyonya.” Pria tersebut melempar telunjuk ke sisi jalan menuju jembatan. “Waktu berdiri di sana, malaikat menemuiku dan mengatakan ada wanita yang membutuhkan bantuanku di tengah jembatan.”

“Ternyata benar. Aku melihatmu di sini tepat sebelum kau bunuh diri,” sambungnya lagi dengan sebelah alis naik ke atas.

Leona mengeratkan genggaman pada handler koper dengan raut ketakutan. Meski memiliki tubuh gemuk, ia tetap seorang wanita yang harus waspada dengan pria asing.

“Come on, Nyonya. Aku hanya berniat membantumu.” Lelaki itu mendongakkan kepala melihat langit yang telah menghitam. “Malam sudah tiba, artinya kau butuh tempat untuk menginap.”

Dia menunjuk lagi dengan ujung dagu. “Aku yakin kau juga kelaparan.”

Wanita berwajah chubby itu melihat ke sekitar. Jaga-jaga jika pria yang ada di hadapannya bersama dengan orang lain.

Pria bertubuh tegap tersebut mendesah, lalu mengeluarkan dompet dan menyerahkan kartu identitas kepada Leona.

“Ini kartu identitasku,” katanya melirik kartu berukuran kecil yang ada di antara ibu jari dan telunjuk.

Pandangan Leona berpindah kepada kartu yang dipegang pria itu, sebelum kembali melihat wajahnya. Dia ingin memastikan foto yang ada di sana adalah orang yang sama.

“West Taylor,” gumam Leona setelah membaca nama yang tertera pada kartu identitas.

Laki-laki bernama West Taylor itu mengangguk singkat. “Kau bisa memanggilku West. Kartu identitas ini asli.”

Tilikan netra abu-abu Leona kembali berpindah kepada kartu yang masih menggantung di sela jemari West. Dia ingin membaca informasi lain mengenai pria tersebut, namun West sudah memasukkannya lagi ke dalam dompet.

“Bagaimana? Ikut denganku atau terlunta-lunta di jalanan? Aku yakin kau tidak memiliki uang untuk bertahan dua hari,” tebak West setelah memberi pilihan.

Leona menelan ludah karena tebakannya benar. Ada begitu banyak pertanyaan yang hinggap di benak saat ini, namun harus dipendam. Sekarang bukan waktu untuk mengajukannya. Yang ia butuhkan hanyalah tempat tinggal untuk sementara waktu.

“Aku sungguh tidak memiliki niat jahat sedikitpun kepadamu, Nyonya,” tegas West ketika masih menemukan keraguan dari cara Leona menatap. “Seperti yang kubilang tadi, aku diutus malaikat untuk menolongmu.”

Wanita bertubuh gemuk tersebut memperhatikan wajah West lamat-lamat, sebelum memberi keputusan. Meski baru berjumpa, ia tidak melihat gelagat buruk dari lelaki itu.

West memiringkan kepala dengan sebelah alis naik ke atas, menunggu jawaban dari Leona.

“Apa jaminannya kalau kau bukan orang jahat?” Leona masih belum percaya sepenuhnya.

“Kau bisa mengetahuinya setelah tiba di rumahku nanti,” sahut West.

“Apa kau tinggal sendirian?”

Pria yang memiliki model rambut crew cut itu menggelengkan kepala. Dia mengusap lembut dagu yang dihiasi rambut halus tipis.

“Aku tinggal dengan dua rekan kerja. Suami istri. Kau akan bertemu dengan mereka nanti,” jelasnya.

“Apa pekerjaanmu?” Leona kembali mengajukan pertanyaan.

West mendongakkan kepala sebentar melihat langit yang gelap keseluruhan, sebelum beralih kepada Leona. Dia mengamati paras yang dihiasi bintik halus itu.

“Kau akan mengetahuinya setelah tiba di rumah.” Lelaki bertubuh tinggi tersebut mengangkat tangan kiri sedikit. “Sudah waktunya makan malam. Mereka pasti sudah menunggu kedatanganku.”

Leona masih tampak ragu. Kaki terasa berat untuk diayunkan menuju tempat West berdiri. Dia masih belum bisa percaya sepenuhnya kepada pria misterius tersebut. Kepercayaannya terhadap orang lain sudah hilang, semenjak Mark berkhianat.

Pria yang dikenal dan dinikahi selama sepuluh tahun saja membohonginya mentah-mentah, bagaimana ia bisa percaya dengan orang yang baru saja dikenal?

***

“Ini kamar yang akan kau tempati, Leona. Sekarang bersihkan diri terlebih dahulu. Tiga puluh menit lagi aku akan datang kembali menjemputmu untuk makan malam,” tutur West mengerling ke arah kamar berukuran sedang, “aku akan memperkenalkanmu kepada rekan kerjaku nanti.”

Netra abu-abu Leona mengitari ruangan yang terbilang nyaman untuk beristirahat. Setelah berpikir panjang, akhirnya ia setuju untuk ikut dengan West. Dia sudah tidak punya tempat tujuan lagi, uang pun tidak ada. Kini wanita itu menggantungkan nasibnya kepada pria misterius yang baru saja ditemui.

“Thank you,” ucap Leona nyaris tak terdengar.

“Jangan berterima kasih kepadaku, tapi berterima kasihlah kepada malaikat yang telah memberitahukanku kalau kau butuh bantuan,” balas West dengan seulas senyum di parasnya.

Meski tahu West mengarang cerita mengenai malaikat, Leona tidak mempermasalahkan. Yang ia ingin ketahui sekarang adalah sejauh mana pria itu akan membantunya untuk membalas semua perbuatan Mark.

Leona tersenyum tipis sebagai tanggapan dari perkataan pria itu. West kemudian berlalu dari hadapannya menuju tangga ke lantai paling bawah dari rumah ini, yaitu area basemen.

“Kau bisa leluasa di rumah ini, Leona. Tapi ingat, jangan pernah sekali-sekali turun ke basemen tanpa seizinku!”

Perkataan West ketika Leona baru menginjakkan kaki di rumah ini kembali terngiang. Seketika ia kembali merasa was-was saat pikiran buruk melintas.

“Ada apa dengan basemen?” gumam Leona penasaran ketika mengamati pria yang sudah menghilang di ujung tangga.

Kedua bahu itu terangkat ke atas seiringan dengan gelengan kepala. Leona memilih untuk tidak memikirkan area basemen. Sekarang ia hanya ingin beristirahat sebentar, sebelum membersihkan diri.

Leona duduk sebentar di pinggir tempat tidur untuk mengendurkan otot kaki yang menegang akibat berjalan hampir seharian. Fisiknya lelah selelah batinnya. Air mata kembali menetes di pipi saat ingat bagaimana pengkhianatan Mark. Dia merasa seperti wanita bodoh yang rela meninggalkan keluarga, demi bajingan itu.

“Aku bersumpah, kau akan menyesalinya, Mark,” geram Leona menyeka bulir bening dengan keras.

Sorot mata abu-abu yang biasa tampak teduh, kini berubah menjadi tajam. Wajah yang kerap dihiasi senyum, sekarang hanya memberi ekspresi datar, terkadang marah. Leona terlihat begitu berbeda.

“Tuhan, kuatkan aku agar bisa membalas semua perbuatannya kepadaku,” lirih Leona sambil memejamkan mata.

Meski belum tahu apa yang akan dilakukannya nanti, namun ia bertekad tidak akan pernah membiarkan Mark hidup dengan tenang. Apalagi sampai menikmati jerih payah Leona selama ini.

Setelah beristirahat sebentar, wanita bertubuh gempal itu beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Ia butuh air dingin untuk memadamkan bara api yang membakar di dalam tubuh. Lelah yang terasa seakan hilang bersama dengan aliran air yang mengguyur setiap jengkal sisi raganya.

“Makan malam sudah tersedia, Leona.” Terdengar suara bariton memanggil diiringi ketukan pintu.

“Ya, sebentar,” sahutnya dengan tangan masih berusaha menggapai resleting gaun.

Leona menarik napas singkat, ketika masih belum berhasil menutup bagian belakang pakaian yang dikenakan. Dia memejamkan mata menyadari betapa gendut dirinya sekarang. Berdiam diri di rumah selama lima tahun, ternyata mampu membuat berat badan naik drastis. Ditambah lagi dengan nafsu makan yang meningkat.

Jemari yang diselimuti lemak itu kembali bergerak meraih resleting . Embusan napas lega meluncur begitu resleting tersebut berhasil tertutup dengan sempurna. Sekarang tinggal merapikan rambut hitam yang panjang dan tebal miliknya.

“Maaf lama. Ada masalah dengan ini,” kata Leona menunjuk resleting belakang gaun, setelah membuka pintu kamar.

“Tidak masalah.” West mengerling ke arah tangga. Sudah waktunya mereka makan malam.

Keduanya melangkah menuju ruang makan yang ada di lantai bawah.

“Aku perlu berbicara denganmu setelah makan malam.” West menoleh sebentar saat berada di pertengahan tangga.

Leona mengangguk canggung. Dia masih belum terbiasa berinteraksi dengan lelaki ini. Sumpah demi apapun, ia juga penasaran siapa West dan apa pekerjaannya?

Langkah mereka berhenti ketika tiba di ruang makan yang tidak terlalu besar. West tinggal di perumahan untuk kalangan menengah ke atas. Ruang tamu di rumah ini luas, namun tidak dengan kamar dan ruang makan. Hal itu dikarenakan penghuni yang bisa dihitung dengan tiga jari.

Leona memandang pria dan wanita yang tampak berusia lima tahun di bawahnya. Sepasang suami istri yang telah lama ikut dengan West.

“Ah, perkenalkan ini Leona. Nanti aku ceritakan bagaimana kami berjumpa kepada kalian,” ujar West memperkenalkan wanita yang baru saja ditemui di jembatan.

“Leona, ini Shaun dan istrinya, Cassie. Mereka orang-orang kepercayaanku. Kau bisa menyebutnya sebagai partner kerja.” West beralih kepada Leona.

Tangan berukuran lebar itu terangkat ke atas bersiap menyambut uluran dari Shaun dan Cassie. Keduanya saling berbagi pandangan bingung, sebelum bersalaman dengan Leona.

“Sekarang kita makan malam dulu. Kau pasti lapar,” sambung West setelahnya.

Kepala Leona tertunduk dalam menahan malu. Dia merasa seperti seorang gelandangan yang baru saja dipungut di pinggir jalan oleh pria asing. Sekarang orang tersebut memberinya makan.

Hah! Wanita bermata abu-abu itu tak lagi peduli bagaimana tanggapan orang lain. Sekali lagi, yang ingin dilakukannya hanyalah membalaskan dendam kepada Mark dan West berjanji akan membantu.

“Sebentar!” cegah West ketika Leona mengambil nasi ditambah dengan kentang. Jari telunjuknya bergoyang ke kiri dan kanan seiringan dengan kepala.

“Mulai hari ini, menu makan malammu bukan lagi nasi ataupun kentang, tapi ini,” cicit West menyodorkan aneka salad dan buah.

Mata lebar Leona semakin membesar sebagai bentuk protes. Bibirnya terbuka sedikit.

“Jika kau bersungguh-sungguh ingin membalas perbuatan suamimu, maka mulailah dari ini.” West melempar telunjuk ke wajah Leona, kemudian perlahan ke bawah. “Kau harus menurunkan berat badan terlebih dahulu.”

Wanita bertubuh gempal itu malah melongo mendengar perkataan West. Saliva memenuhi rongga mulut seketika. Hal ini di luar dugaan Leona. Mengurangi takaran makan, mampu membuatnya tersiksa. Ternyata ia baru saja menggali kuburan untuk diri sendiri.

Aku bisa mati sebelum membalas perbuatan Mark, jika melakukan ini, batinnya menderita.

Bersambung....


BAB 3: Perang Batin


“Ceritakan kepadaku apa yang sebenarnya terjadi kepadamu.”

West mematut Leona lamat-lamat dari kepala perlahan ke bawah. Dia bisa mengetahui dulunya, wanita itu memiliki wajah yang cantik. Bagi lelaki yang telah bertemu banyak orang seperti dirinya, akan sangat mudah mengenali watak siapa saja yang ditemui.

“Katakan dulu apa pekerjaanmu. Sebelum ke sini kau berkata akan mengatakannya ketika di rumah.” Leona malah tidak menjawab pertanyaan West.

“Aku?”

“Iya. Siapa lagi? Apa aku bertemu dengan Shaun dan istrinya sebelum kita ke sini?”

West tertawa mendengarnya. “Wah, ternyata kau memiliki sisi ketus juga, Leona.”

Leona menegakkan tubuh dengan dagu terangkat ke atas. Kali ini dia ingin menunjukkan kalau dirinya tidak berasal dari kalangan biasa. Kedua tangannya bergoyang sebelum tangan menyilang di atas lutut yang berimpitan.

“Tentu, Mr. Taylor. Kau bahkan belum mengetahui siapa diriku sebenarnya.”

West manggut-manggut seolah paham maksud perkataan wanita yang duduk tepat di hadapannya.

“Leona Elizabeth Parker, keturunan bangsawan di daerah Outville. Putri ketiga keluarga Parker yang diusir, karena menikah dengan pria dari kalangan bukan bangsawan. Suamimu bernama Mark Sinclair, bukan?” papar West lancar mengatakan asal usul wanita yang baru saja ditemui.

Mata abu-abu Leona langsung membesar. Rasa takut kembali hinggap dalam diri, khawatir jika pria ini memiliki niat yang tidak baik.

“Ba-bagaimana kau tahu tentangku?” Tangannya bersiap meraba ke samping kiri mencari benda yang bisa digunakan untuk melindungi diri, jika West berniat buruk kepadanya.

Pria berambut cokelat itu menyandarkan tubuh di punggung sofa dengan mengulas senyuman. “Mengetahui identitas seseorang, bukanlah hal yang sulit bagiku.”

“Tenang, Leona. Sekali lagi aku tegaskan, aku tidak pernah memiliki niat buruk kepadamu.” Tangannya naik ke atas, mengacungkan jari tengah dan telunjuk bersamaan ke atas. “Demi Tuhan, aku bersumpah hanya ingin membantumu.”

West berusaha meyakinkan Leona yang sudah ketakutan terlebih dahulu.

“Benar?” Leona masih tidak yakin.

“Sungguh-sungguh. Kau bisa percaya denganku.”

Gestur tubuh Leona kembali tenang. Tidak ada lagi gurat khawatir yang terpancar dua menit yang lalu.

“Apa pekerjaanmu? Kau harus jujur mengatakannya kepadaku.”

“Aku seorang penipu.”

“What?”

“Ya. Kau memintaku jujur dan aku katakan yang sebenarnya,” ujar West tanpa beban, “aku memiliki data base lengkap, sehingga bisa mencari tahu latar belakangmu dengan mudah.”

West menyeringai dengan pandangan belum lepas dari Leona. “Aku juga bisa membuatkan identitas baru untukmu. Karena itulah kau harus menurunkan berat badan, sebelum membalas suamimu.”

Wanita itu mulai paham ke mana arah pembicaraan West. Satu jam yang lalu pria itu bersikeras meminta dirinya untuk mengubah pola makan, hingga mengurangi konsumsi karbohidrat agar tidak menjadi lemak.

“Kau ingin aku—”

“Kurang lebih seperti itu. Detailnya akan kuberitahu nanti setelah kau ceritakan apa yang terjadi. Maksudku, pria seperti apa suamimu dan apa pekerjaannya.”

Mata abu-abu itu mengecil dan menatap penuh selidik. “Tadi kau bilang bisa mengetahui latar belakang seseorang, kenapa sekarang malah tanyakan apa pekerjaan suamiku?”

“Come on, Leona. Aku hanya memiliki waktu tiga puluh menit untuk mencari data tentangmu. Bagaimana aku bisa mencari tahu tentang suamimu dengan detail dalam waktu sesingkat itu?” balas West mengusap kening. Lelah juga berkomunikasi dengan perempuan seperti Leona.

Suasana hening ketika wanita berambut hitam itu berpikir sejenak. Bahunya naik, lalu turun perlahan ke bawah.

“Baiklah. Mark dulunya hanya seorang pegawai biasa di perusahaan pialang.” Senyum tipis tergambar di parasnya mengenang awal bertemu dengan pria itu. “Dia pria yang manis dan penyayang. Karena itulah, aku rela meninggalkan keluargaku demi dirinya.”

“Awal pernikahan, aku bekerja dengan sekuat tenaga. Mengumpulkan uang membeli rumah. Tujuannya agar bisa menunjukkan kepada keluarga, kalau Mark bisa memberi kecukupan materi untukku.” Sorot mata yang tadinya dihiasi cinta, kini berubah tajam seperti binatang buas yang ingin memangsa incaran.

West mendengar cerita Leona baik-baik, tanpa menyela.

“Tahun kelima pernikahan, aku membantunya mendirikan perusahaan investasi dana. Ya, walau sudah tidak bekerja lagi, tapi aku membantu Mark bekerja di belakang layar. Kau paham maksudku, ‘kan?” Pandangan netra yang basah kemerahan itu beralih kepada West.

“Maksudnya kau adalah otak dari perusahaan yang dikelola suamimu sekarang?” West tampak terkejut mendengar penjelasan Leona.

Leona menganggukkan kepala. “Aku ingin orang-orang menghargainya, terutama keluargaku. Karena itulah seluruh aset perusahaan dan rumah, dituliskan atas namanya.”

“Dan sekarang dia mengkhianatimu, hingga kau hidup terlunta-lunta?” Mata biru kecil milik West melebar. Dia berdecak tiga kali sambil bertepuk tangan. “Luar biasa bajingan itu. Bagaimana bisa laki-laki itu bersenang-senang dengan harta yang bukan miliknya?”

Pria itu mengusap rahang tegas yang dihiasi rambut tipis itu keras. Dia tidak menyangka ada pria yang begitu kejam kepada istrinya sendiri. Bahkan keberhasilannya saat ini, tidak lepas dari jerih payah Leona.

“Jadi apa rencanamu sekarang?” ujar West kemudian.

Kening Leona berkerut dalam, bibir bagian atas kanan terangkat sedikit. “Apa maksudmu menanyakan rencanaku? Bukankah kau yang mengatakan ingin membantuku tiga jam yang lalu? Lelucon apa ini?”

West menggeleng cepat. “Bukan itu maksudku. Apa kau berencana untuk mengambil perusahaan itu lagi?”

“Jika itu bisa membalas perbuatan Mark, kenapa tidak kulakukan?” lirih Leona tertunduk.

Pria berambut cokelatan itu mengangguk paham. “Baiklah. Sekarang keinginanmu ada dua, pertama membalaskan pengkhianatan suamimu dan kedua merebut lagi harta yang seharusnya milikmu?” katanya memastikan.

“Benar. Aku ingin membuat Mark sengsara dan menyesali perbuatannya,” sahut Leona tanpa ragu.

“Apa kau masih mencintainya?” selidik West.

Wanita berparas chubby itu terdiam. Dia benci dengan Mark, tapi jauh di lubuk hati terdalam ia masih mencintainya.

“Diam berarti benar.” Pria itu mendesah pelan sebelum kembali berucap. “Sebelum kujelaskan apa rencananya, lebih baik kau hilangkan dulu perasaanmu. Itu tidak akan memberi hasil yang baik untuk usaha kita.”

“Tapi—”

“Tidak ada tapi lagi, Leona. Mana bisa membalaskan dendam ketika masih cinta? Itu konyol sekali,” sela West sedikit meninggikan suara.

Lelaki bertubuh tegap itu berdiri dan bersiap untuk pergi dari ruang tamu.

“Aku harus bagaimana?” desis Leona membuat langkah West berhenti.

“Sebaiknya kau renungi dulu. Saranku, kau harus menghapus rasa cintamu bagaimanapun caranya.” West memutar balik tubuh menghadap Leona dan melihat wajah menyedihkan itu. Dia tidak habis pikir ada perempuan yang masih mencintai suaminya, setelah mengetahui perselingkuhan pria itu.

“Aku beri kau waktu tiga hari, sebelum memulai rencana kita.”

Pandangan Leona perlahan naik melihat West. Lagi-lagi bulir bening tergenang di sana, membuatnya tampak lemah. “Aku tanya, bagaimana cara agar bisa menghapus cintaku, West?”

“Aku mengenal dan mencintainya selama sepuluh tahun. Bagaimana bisa menghapus cinta itu dalam waktu singkat?”

Leona mulai kesal dengan diri sendiri. Tubuhnya bergetar merespons perasaan yang mulai berkecamuk. Dia benci dengan perbuatan Mark dan itu adalah fakta, tapi menghilangkan cinta yang selama ini dipupuk begitu saja, tentu akan sulit dilakukan.

“Ganti ponsel dan nomormu,” usul pria itu.

“Aku yang akan membelikannya untukmu besok,” jelas West ketika Leona ingin berbicara. Dia tahu persis saat ini, perempuan yang ada di hadapannya tidak memiliki uang.

Wanita itu mengangguk lesu dengan wajah menyedihkan.

West mendesah lagi tak tega melihat kondisi Leona sekarang. Dia maju satu langkah, kemudian berlutut di hadapannya.

Leona terkejut melihat pria itu berlutut di dekat kakinya. Dia menjadi gugup saat wajah West terlihat jelas dari jarak dekat. Selama ini tidak pernah ada laki-laki yang berlutut seperti ini, termasuk Mark.

“Ada cara jitu agar kau segera melupakan cintamu kepadanya, Leona.” West menatap lekat wajah yang dihiasi bintik halus tersebut.

“Apa?” tanya Leona nyaris berbisik.

Tangan West naik membelai pinggir pipi tembem milik wanita itu, kemudian mengusap tetesan air mata yang ada di sana.

“Berkencanlah denganku,” jawab West lugas.

Bersambung....


BAB 4: Rencana Gila West Taylor


Mata abu-abu Leona berkedip pelan menatap tak percaya, setelah mendengar perkataan West barusan.

“Kau … jangan bercanda, West. Sama sekali tidak lucu!”

Pria bermata biru itu mengangkat bahu dengan bibir melengkung. “Tidak begitu juga. Aku setengah serius, Leona.”

Bibir Leona terbuka sedikit, sebelum mengeluarkan tawa keras. “Setengah serius? Kau lihat aku, West. Gendut, sama sekali tidak menarik. Sedangkan kau ….”

Wanita itu menarik napas lesu, lantas menundukkan kepala. “Menarik. Cukup tampan. Aku yakin banyak wanita di luar sana menyukaimu.”

“Meski itu hanya bercanda, tolong jangan ucapkan lagi,” sambungnya kemudian.

Satu tangan West naik memegang lengan sofa, sementara satunya lagi menempel pada pinggir bantalan sofa tempat Leona duduk. Pandangannya menjelajahi setiap jengkal wajah yang berada tepat di depan, membuat wanita itu salah tingkah.

Dia melihat sepasang mata abu-abu lebar yang jernih, jika tidak sedang bersedih. Bulu mata tebal dan lentik menghiasi ujung kelopak. Dua alis yang tebal dan rapi menyempurnakan sebagian bingkai atas matanya.

Tilikan mata West turun ke arah hidung mancung berukuran sedang dan tulang pipi yang dihiasi bintik cokelat. Lagi netra biru itu turun sedikit ke bawah, melihat bibir sedikit berisi tapi mungil. Di bawahnya tampak dagu dengan belahan, menambah sempurna kecantikan Leona jika saja pipi yang chubby itu menjadi tirus.

Leona masih menatap bingung West yang hanya mengamati dirinya sejak tadi. Dia melihat tangan pria itu terangkat, mengembang tepat di depan wajah chubby tersebut. Otomatis kepala wanita itu sedikit mundur ke belakang.

Apa ini? Jangan bilang kalau dia jatuh cinta kepadaku dan sudah lama mengincarku, tebak batin Leona asal.

Ah, tidak mungkin pria ini jatuh cinta dengan wanita gendut sepertiku, sangkal hatinya yang lain.

“Aku akan mengembalikan kecantikanmu, Leona.” West tersenyum ketika kelima jarinya ditekuk satu per satu, seperti pesulap yang bersiap melakukan trik sulap. “Setelah melihat penderitaan yang kau lalui, aku bersumpah akan membuat suamimu menyesal, karena telah mengkhianatimu.”

West bangkit ke posisi berdiri, kemudian mengulurkan tangan. “Berkencanlah denganku, agar kau bisa melupakannya.”

“Jangan bilang rencanamu membuat Mark cemburu,” duga Leona setelah mengendalikan perasaan aneh di dalam diri. Hei, jangan berpikiran buruk dulu. Tidak mungkin ia jatuh cinta secepat itu dengan West.

Pria itu menggeleng tegas. “Tentu tidak, Leona. Itu sudah umum. Kurang seru.”

“Apa yang akan kau lakukan?”

Suara decakan keluar dari bibir tipis milik West. “Kau akan mengetahuinya besok. Sekarang lebih baik tidur dan jangan ingat lagi dengan pria brengsek itu.”

Leona menarik napas panjang, lalu menyambut uluran tangan itu sebelum berdiri. “Baiklah. Kuharap kau tidak malu berkencan dengan wanita gendut dan tidak menarik sepertiku,” sahut Leona setuju.

“Kau bukan tidak menarik, hanya saja kurang perawatan,” tanggap West ketika mereka beriringan melangkah keluar dari ruang tamu.

“Mulai besok, kita mulai dari memberikan sedikit sentuhan untuk tubuhmu itu.”

Wanita berbadan lebar itu mundur satu langkah ke belakang sambil menyilangkan tangan di depan dada.

“Bukan itu maksudku.” West mendesah pelan, lantas kembali melangkah. “Menurunkan berat badan dan melakukan perawatan. Cassie akan membantumu.”

Secarik senyum lebar menghiasi wajah Leona. “Apakah itu bagian dari rencanamu?”

“Bisa dibilang begitu. Sekarang kau harus beristirahat, tenangkan pikiran, karena aku tahu hari ini sangat melelahkan bagimu,” sarannya mempersilakan Leona masuk ke kamar untuk beristirahat.

Sebelum benar-benar masuk ke ruang tidur, Leona membalikkan tubuh dan melihat kepada pria itu. “Sekali lagi terima kasih, karena telah menampungku dan mau membantuku membalas perbuatan Mark.”

West mengangguk singkat sambil mengerling ke dalam kamar. Tandanya Leona sudah harus beristirahat sekarang.

“Seharusnya aku yang berterima kasih kepadamu, Leona,” gumam West setelah pintu kamar tertutup rapat.

***

“Apa kau tidak punya rencana kembali kepada keluargamu?” tanya West pagi hari berikutnya. Dia sekarang sedang jalan pagi dengan Leona di taman perumahan.

Leona mengangkat bahu dengan melengkungkan bibir ke bawah. “Entahlah. Aku kehilangan muka bertemu dengan mereka.”

Langkah wanita itu berhenti ketika menghadap sepenuhnya kepada West. “Mereka pasti menertawakanku, karena telah salah memilih pasangan.”

“Kau belum mencobanya, Leona,” komentar West.

Tarikan napas berat terdengar dari hidung mancung berukuran sedang tersebut. Netra abu-abu miliknya, beralih melihat pohon hijau yang berjejer di sepanjang jalan menuju tempat tinggal West.

“Sudah jelas itu akan terjadi. Karena ….” Leona menundukkan kepala, melihat bebatuan yang tersusun rapi menutupi jalan.

“Karena?” West tampak penasaran, sehingga menundukkan sedikit tubuh agar bisa melihat ekspresi wanita itu.

“Karena aku menolak dijodohkan dengan seorang pria.”

“Astaga! Jadi sebelum bertemu dengan bajingan itu, kau sempat akan dijodohkan dengan pria lain?”

Leona mengangguk pelan, lantas melangkah menuju bangku taman yang berada sepuluh meter dari tempat mereka berdiri.

West langsung menyusulnya dengan cepat.

Senyum kecut tergambar di paras Leona setelah duduk di bangku kayu yang cukup ditempati oleh dua orang.

“Sepertinya ini balasan atas penolakanku waktu itu.” Dia mengalihkan pandangan kepada West. “Bisa jadi pria yang akan dijodohkan denganku adalah pria yang baik.”

West menumpu kedua tangan di samping, lalu memegang erat pinggir bangku tersebut. “Mungkin saja.”

“Jangan bilang kau belum bertemu dengan pria tersebut?” tebaknya kemudian.

“Kau benar.” Leona mengangguk kecil. “Aku bahkan tidak tahu seperti apa wajah dan namanya.”

“Kau menolak orang itu mentah-mentah, sebelum mengenalnya?!” Pria itu bertepuk tangan sambil geleng-geleng kepala. “Wanita yang luar biasa.”

Mata abu-abu Leona mengecil dengan menunjukkan raut protes. “Apa kau baru saja meledekku?”

Senyum lebar tergambar di paras yang dibingkai oleh rahang tegas itu. Bibirnya mengerucut, sebelum berujar, “Bisa dianggap begitu.”

Gigi kecil wanita itu saling beradu saat tangannya memukul keras lengan West.

“Auch! Tenagamu kuat juga,” tanggapnya pura-pura meringis seraya mengusap lengan sendiri.

“Jangan pura-pura kesakitan. Pukulan itu tidak cukup membuat pria merasakan sakit,” sungut Leona tergelak menyadari suasana di antara mereka mulai mencair.

Tidak ada lagi ketakutan menyelimuti jiwa Leona, setelah mengenal pria itu selama beberapa jam.

“Ceritakan kepadaku, siapa saja yang jadi korbanmu?” Leona mengalihkan percakapan. Dia juga ingin tahu penipu seperti apa seorang West Taylor yang berbaik hati mengulurkan tangan, membantu wanita asing seperti dirinya.

“Korbanku?”

“Korban penipuanmu, West.”

West menengadahkan kepala, sehingga netra birunya bisa melihat cerahnya langit pagi itu. “Pengusaha nakal, politikus korup dan ….”

“Dan?” Leona menatap tak sabar.

“Dan sosialita yang menghamburkan uang suaminya demi kesenangan mereka.”

“Jangan bilang kalau kau ingin menjadi Robinhood era modern,” canda Leona tertawa singkat.

“Maybe.”

“Bagaimana caramu menipu mereka?”

Pria itu mengangkat tangan ke atas, lalu mengacungkan jari telunjuk. Sebelah matanya berkedip pelan. “Itu rahasia perusahaan, Leona.”

Wanita berwajah chubby itu mengangguk paham. “Apa kau membutuhkan karyawan baru?”

Kening West berkerut bingung.

“Aku tidak memiliki uang untuk membalas semua kebaikanmu. Jadi, kupikir sebaiknya bergabung denganmu.”

“Kau mau jadi penipu?” West menahan suara ketika nyaris berteriak.

Leona mengangguk tanpa ragu. “Kenapa tidak? Sepertinya menarik.”

West berdecak melihat tekad bulat wanita yang duduk di sampingnya. Selama ini, ia belum pernah bertemu dengan perempuan seantusias Leona. Ya, meski terkadang cengeng juga.

“Baiklah.” Pria itu menaikkan sebelah kaki ke atas bangku, sehingga menghadap sepenuhnya kepada Leona.

“Sekarang dengarkan aku baik-baik.” West menatap Leona serius. “Aku akan katakan rencana kita.”

Leona menarik sedikit rambut hitam tebal yang dikuncir ke atas, kemudian memindahkannya ke bahu kiri. Kepalanya bergerak ke atas dan bawah dengan cepat.

“Pertama-tama, kau harus berjuang untuk menurunkan berat badan terlebih dahulu.”

Tangan kiri West mengembang tepat di depan wajah lebar itu, membuat Leona tidak jadi menyela perkataannya.

“Kau harus melakukannya, karena ini sangat penting,” sambungnya setelah bibir Leona tertutup lagi.

“Kenapa?”

“Karena kau harus menjadi wanita yang berbeda, bukan lagi Leona Elizabeth Parker, tapi Tatiana Clark.”

“Maksudmu aku ….” Kalimat wanita itu sengaja digantung, karena ingin West meneruskannya.

“Cerdas. Tebakanmu benar.” West melempar telunjuk tepat lima centimeter di depan hidung Leona. “Kau akan memiliki identitas baru dan akan menggoda suamimu itu.”

“Selamat datang di duniaku, Leona,” ucap West mengulurkan tangan.

Wanita itu tercengang mendengar sebagian dari rencana besar yang dirancang West. Dia tidak menduga lelaki tersebut telah mempersiapkan rencana gila seperti ini.

Bersambung....


BAB 5: Size Zero


Tangan besar Leona meraba ke sisi kiri tempat tidur dengan mata masih terpejam. Kening berkerut menyadari tidak ada orang di sana. Kelopak netra abu-abu itu perlahan terbuka, lantas menatap lesu ruang kosong yang ada di sebelah.

Tidak ada Mark di sana. Biasanya ia memeluk pria itu sebelum membuka mata, kemudian suaminya memberi kecupan selamat pagi. Begitulah setiap pagi yang ia lewati dulu. Kini semua berubah setelah pengkhianatan Mark. Lelaki itu bahkan masih bersandiwara seolah masih mencintainya, sebelum aksi bejatnya diketahui Leona.

Hari kedua tanpa suami di sisi, masih terasa berat bagi Leona. Bayangkan, ia telah menghabiskan waktu sepuluh tahun bersama, berbagi suka dan duka. Sekarang hanya luka yang ia rasakan. Lagi, bulir bening meluncur begitu saja dari sudut matanya.

“Leona.” Tiba-tiba terdengar suara bariton dari luar. Sudah jelas milik West, pria yang baru dikenalnya selama tiga hari.

“Ya?” sahutnya dengan suara serak khas bangun tidur.

Kedua jari telunjuk Leona bergerak ke bagian mata, lantas menguceknya sebentar. Dia beranjak duduk, merentangkan kedua tangan dan meregangkan otot-otot yang bisa jadi sakit akibat posisi tidur yang kurang pas, atau karena tertindih tubuhnya yang gempal.

“Kau masih tidur?” tanya West di balik pintu.

“Kalau masih tidur, bagaimana aku bisa menjawabmu, West?” jawab Leona mengeraskan suara.

Samar terdengar suara West tertawa di luar, membuat wanita itu berdecak. Leona kemudian berdiri seraya mengikat seluruh rambut ke atas, sebelum membuka pintu.

“Ada apa?” desis Leona setelah membuka pintu. Pandangannya melihat ke arah lantai, bukan kepada West.

Pria berambut cokelat itu mengamatinya beberapa saat. “Kau menangis lagi?” tebak West setelah melihat sisa air mata di sudut mata Leona.

“Siapa yang menangis?” kilah Leona menyeka air mata yang siap mengalir sambil mengedipkan mata cepat.

Dua detik kemudian, ia malah menangis tersedu. “Sampai kapan aku terbiasa dengan keadaan ini, West?”

Lelaki bertubuh tinggi tegap itu menarik napas berat, kemudian menarik tubuh besar Leona ke dalam pelukan. Dia menepuk pelan punggung yang dilapisi lemak itu, mencoba menenangkannya.

“Kau bisa pinjam bahuku saat ingin menangis, Leona,” bisik West membuat wanita tersebut semakin sesegukan.

“Kenapa kau baik sekali? Kita baru kenal tiga hari,” isak Leona di dada bidang itu. Aroma citrus menyeruak di rongga hidungnya.

Tangan West naik membelai lembut belakang kepalanya. “Tidak perlu mengenal lama untuk melakukan kebaikan, Leona. Itu semacam panggilan hati.”

Wanita itu melonggarkan pelukan, lalu mundur satu langkah ke belakang. Netra abu-abunya memandang paras West yang dihiasi rambut halus di pinggir wajah hingga dagu.

“Ternyata penipu sepertimu gampang tersentuh,” komentar Leona tersenyum kecut.

Bibir West terbuka sedikit ketika jari telunjuk naik ke atas. “Aku menipu orang yang pantas untuk ditipu, Leona. Jangan lupa itu.”

Leona mengangguk kecil.

“Sekarang mandilah. Setelah sarapan kita akan pergi ke suatu tempat.”

“Ke mana?” Raut bingung menghiasi wajah wanita tersebut.

“Membeli pakaian untukmu.”

Jari telunjuk dilapisi lemak itu bergerak ke wajah chubby-nya. “Pakaian untukku? Buat apa? Aku masih punya pakaian yang bagus.”

West berdecak sambil geleng-geleng kepala. “Bukan pakaian seperti itu maksudku, tapi gaun berukuran nol alias size zero.”

“What?” Leona terbelalak mendengar perkataan West.

“Ukuran yang cocok untuk tubuh dan identitas barumu, Leona.” West menyeringai dengan sebelah alis naik ke atas.

***

“Apa tidak sebaiknya beli nanti saja? Belum tentu aku bisa kurus lagi,” keluh Leona ketika mereka sudah berada di mall.

West menggeleng dengan pandangan mencari outlet yang bagus untuk dikunjungi. “Pakaian itu bisa menjadi motivasi untukmu menurunkan berat badan, Leona.”

“Tapi ….”

Mata biru itu melebar saat kedua alis naik ke atas. “Kau harus menurunkan berat badan empat puluh kilogram. Bayangkan, empat puluh kilogram!!” katanya mempertegas kalimat terakhir.

“Aku tidak yakin berhasil. Sekarang saja tubuhku lemas karena kurang makan,” keluh Leona memperlihatkan wajah yang menyedihkan.

Pria itu menggeleng cepat, lalu melanjutkan lagi langkah menuju outlet pakaian wanita.

Leona terpaksa mengikutinya dari belakang. Sejak tadi ia merasa was-was jika bertemu dengan Mark di sini, karena mall ini sering dijadikan tempat untuk bertemu dengan klien.

Dia tertawa miris menyadari pria itu tidak menghubunginya sejak bertengkar dua hari yang lalu.

“Dasar pria brengsek,” gerutunya pelan.

“Siapa yang brengsek?” Langkah West berhenti tepat di depan pintu outlet pakaian. Dia memutar balik tubuh menghadap Leona dengan sebelah tangan masuk ke saku celana jeans.

“Siapa lagi?”

“Maksudmu Mark?” Pria itu mengedarkan pandangan ke lantai mall tempat mereka berada. “Kau melihatnya?”

Leona menggeleng lesu. “Aku hanya ingin memakinya saja.”

“Why?”

Wanita itu mengibaskan tangan singkat. “Lupakan. Aku sedang tidak ingin membahas pria itu.”

West bingung melihat sikap plin-plan wanita yang ada di depannya sekarang. Terkadang Leona terlihat seperti membenci Mark, tapi tidak jarang juga menangis karena masih mencintainya. Dia meraih tangan yang membengkak karena lemak tersebut, kemudian menggenggamnya erat.

“Ayo masuk.”

Leona bergeming menatap pegangan tengan West.

“Kita sudah sepakat akan berkencan sebelumnya, Leona. Kau lupa?”

Kepala dengan rambut dikuncir satu itu menggeleng.

“Apa kau tidak malu berjalan dengan wanita gendut sepertiku?”

Pria berahang tegas itu menggeleng singkat, kemudian menarik tangan Leona memasuki outlet pakaian. “Untuk apa malu? Kau cantik,” katanya membuat pipi chubby memancarkan semu merah.

Leona memilih diam ketika melihat West berinteraksi dengan penjaga outlet. Dia sendiri bingung harus membeli apa, karena sudah lama tidak berbelanja di toko yang menjual gaun untuk tubuh langsing.

“Bisa pilihkan pakaian yang cocok untuknya?” pinta West setelah disambut ramah oleh pelayan.

Pelayan dengan rambut disanggul tersebut tidak bisa menyembunyikan wajah terkejutnya ketika melihat Leona.

“Jangan lihat tubuhnya yang sekarang, tapi nanti,” ujar West lagi seakan tahu makna tatapan mata hitam pelayan tersebut.

“Maaf, Tuan,” ucap pelayan menundukkan sedikit tubuh ke depan.

West mengalihkan pandangan kepada Leona, memintanya agar ikut dengan pelayan. “Pilih yang kau suka.”

Meski merasa sedikit aneh, akhirnya wanita bertubuh besar tersebut mengikuti pelayan. Dia kebingungan dengan ukuran berapa yang akan dipilih.

“Ingat size zero, Leona,” cicit pria itu menahan tawa.

Leona memandang West dingin. Dia sendiri tidak yakin bisa menurunkan berat badan sebanyak itu dalam waktu singkat.

Dua jam mengitari mall membuat tungkai Leona lelah menopang tubuh gempalnya. Beberapa pakaian yang dibutuhkan sudah berada di tangan West. Pandangannya beredar mencari keberadaan tempat duduk.

“West, aku lelah. Sebaiknya kita istirahat dulu,” ajak Leona dengan keringat mulai muncul di sela pori-pori.

“Oke. Kita cari tempat santai dan minum kopi dulu.” Pria itu mengacungkan telunjuk ke atas. “Tapi ingat, kau hanya boleh mengkonsumsi espresso atau jus buah dengan sedikit gula.”

Leona mengangguk pasrah. Keinginan meminum cappuccino creamy terpaksa diurungkan demi menurunkan berat badan. Target yang diberikan West hanya tiga bulan. Wow!!

Mereka berdua mengambil tempat duduk yang berada di sudut kanan café agar bisa berbicara dengan leluasa. Leona menghempaskan tubuh dengan lesu di kursi yang berada tepat di depan West duduk.

“Apa kau selalu seperti itu?” tanya West sebelum membuka buku menu.

“Seperti itu apa?” Leona malah balik bertanya.

“Cepat lelah.” Pria itu menutup lagi buku menu setelah menemukan pesanan yang diinginkan. Dia mengalihkan pandangan kepada Leona. “Kita baru berjalan dua jam dan kau sudah mengeluh kelelahan.”

Dagu West terangkat menunjuk wanita itu. “Lihatlah wajahmu sekarang. Benar-benar menyedihkan,” sambungnya setengah meledek.

“Berat badanku terlalu berlebih, West. Karena itulah cepat lelah.”

“Kenapa kau tidak menurunkan berat badan sebelumnya?”

Leona mengangkat bahu singkat. Dia meraih buku menu, sebelum menjawab pertanyaan kesekian dari West. “Aku lebih banyak di rumah, stress dan menjadikan makanan sebagai pelampiasan.”

Pantas saja suaminya selingkuh. Aku jamin dia tidak bisa memuaskannya di ranjang, komentar West dalam hati.

“Sekarang kau harus berjuang untuk menurunkan berat badan,” tanggapnya kemudian.

Baru saja ingin merespons perkataan pria tersebut, tilikan netra Leona tak sengaja menangkap kehadiran sosok yang sangat dikenal di pintu café. Udara mendadak hilang di sekitar, sehingga napasnya menjadi sesak. Berbagai perasaan berkecamuk di dalam hati saat ini.

Marah, benci dan … rindu. Sial! Wanita itu tidak tahu harus mengikuti rasa yang mana.

“Kau kenapa Leona?” gumam West melihat perubahan drastis wajah perempuan yang duduk di depannya.

Leona menundukkan kepala dalam-dalam, sebelum menjawab pertanyaan West. “Mark ada di sini.”

Bersambung....


BAB 6: Pria Tak Tahu Malu


West menoleh ke arah pandangan Leona. Dia melihat seorang pria berambut model Ivy League berjalan memasuki area café bersama dengan seorang pria lainnya. Kening berukuran ideal tersebut berkerut bingung.

“Itu Mark?” gumam West kembali beralih kepada Leona.

Wanita itu mengangguk singkat. Dia masih mengawasi pergerakan Mark dengan sudut mata.

“Dia ke sini,” balas Leona mulai cemas.

Ternyata pria yang masih berstatus sebagai suaminya itu melihat keberadaan dirinya di sana. Tubuh Leona mulai bergetar merespons perasaan yang bercampur aduk saat ini.

Mengetahui hal itu, West langsung pindah ke samping Leona. Dia menggenggam erat jemari wanita tersebut, agar menguatkannya.

“Kau tidak perlu takut, Leona. Kita lihat bagaimana reaksinya setelah ini,” ujar West pelan.

Mark semakin dekat dengan mereka sekarang. Mata elang kecokelatan itu tidak beranjak seperti ingin melahap Leona hidup-hidup.

“Thanks God, akhirnya aku menemukanmu, Honey.” Mark berjalan cepat menuju Leona.

West dan Leona saling berbagi pandang melihat reaksi tak terduga dari Mark.

“Sepertinya dia bersandiwara, karena tidak sendirian. Kau harus bisa mengendalikan diri,” saran West pelan sekali agar tidak terdengar oleh pria itu.

Sebagai penipu ulung, dia tahu persis apa yang akan dilakukan oleh Mark setelah ini.

“Siapa dia?” Mark melirik ke tempat West duduk.

Leona masih menutup mulut rapat, lantas membuang muka. Meski rindu dengan pria itu, bukan berarti harus bersikap manis kepadanya. Apalagi ketika ingat bagaimana rayuan yang dilontarkan Mark kepada selingkuhannya waktu itu.

Tilikan netra kecil Mark berpindah kepada tautan tangan West dan Leona yang berada di bawah meja. Suara tawa keras keluar dari bibir tipisnya.

“Oh, jadi kau meninggalkanku karena pria itu? Kau mengkhianatiku, Perempuan Jalang!!” tuding Mark dengan wajah kesal. Ah, tidak sepenuhnya juga seperti itu karena sudah jelas pria itu hanya berpura-pura.

“Apa katamu? Perempuan jalang?” Leona berdiri seraya mendorong keras kursi ke belakang. Dia mengacungkan jari telunjuk tepat ke wajah Mark saat mata berkaca-kaca. Sirna sudah kerinduan yang terasa, kini hanya tersisa kebencian yang terpupuk di hatinya.

“Kau menuduhku berselingkuh, padahal kau sendiri yang mengkhianatiku. Kau mengusirku dari rumah, Mark. Apa kau lupa? Hah?!” sergah wanita itu memberanikan diri. Dia tak lagi peduli dengan banyak pasang mata yang melihat kepada mereka.

Mark malah tertawa keras. Dia melihat kepada pria yang ikut dengannya tadi, kemudian beralih kepada Leona.

“Aku? Kapan? Bukankah kau yang pergi begitu saja tiga hari yang lalu saat aku tidur?”

Tubuh Leona semakin terbakar karena pria itu memutar balikkan fakta. Dia muak dan jijik dengannya. Lelaki yang berdiri di hadapannya saat ini, bukan lagi Mark yang ia kenal dulu.

“Buktinya sudah jelas, Leona. Kau sedang bersama dengan seorang pria sekarang,” sambung Mark menyeringai.

Ketika ingin membalas perkataan Mark, ia melihat seorang perempuan berambut ginger memasuki area café. Perempuan tersebut mengedipkan sebelah mata kepada Leona sambil mengibaskan rambut kemerahannya.

“Kau di sini, Sayang?” sapa perempuan berambut merah itu tiba-tiba bergelayut manja di lengan Mark. Sontak pria itu menarik tangannya dengan tatapan protes.

“Siapa kau?” tanya Mark mundur satu langkah ke belakang.

Wanita itu tertawa pelan dengan tangan menutup mulutnya. “Jangan pura-pura lupa, Mark,” katanya mengusap lengan kekar pria tersebut, “jangan bilang kau lupa dengan malam panas yang pernah kita lewati waktu itu.”

Lelaki bertubuh atletis itu berusaha melepaskan tangan perempuan yang bergelayut lagi di lengannya.

“Aku tidak kenal denganmu,” sanggah Mark mulai kesal.

“Kau yakin tidak mengenaliku?” Perempuan itu mengerling kepada Leona dengan bibir membulat. “Oh, aku tahu. Kau menyangkalku karena ada istrimu di sini, bukan?”

Mark semakin meradang. Dengan murka ia menyeret perempuan tersebut keluar dari café. Pria yang bersama dengannya barusan juga ikut keluar dari sana.

“Bagaimana ini?” Leona tampak panik, khawatir jika Mark berbuat buruk kepada Cassie.

Ya, perempuan berambut jahe tersebut adalah Cassie yang sedang melakukan perannya sebagai penipu ulung, rekan kerja West.

“Kau tenang saja. Ada Shaun di luar. Suamimu tidak akan bisa menyakiti Cassie,” balas West santai.

Wanita bertubuh gempal itu menarik napas panjang sebelum berkacak pinggang. “Bisa kau jelaskan kenapa mereka ada di sini, West?” pinta Leona dengan gigi beradu.

West mengangkat bahu singkat, lantas duduk lagi di kursi. “Untuk jaga-jaga jika hal itu terjadi.”

“Maksudmu?” Leona memutar kursi menghadap pria tersebut.

“Tindakan suamimu itu terlalu mudah untuk diprediksi, Leona.” West menoleh ke samping sehingga bisa melihat raut penasaran di paras chubby-nya.

“Begini. Ada berapa banyak pengusaha di negeri ini yang membangun image positif di depan publik?”

“Banyak, tapi aku tidak pernah menghitungnya.”

West memantik jari sebelum merespons. “Mereka tidak ingin skandal apapun yang merusak image mereka terungkap. Aku sudah banyak bertemu dengan bajingan seperti itu.”

“Jangan bilang kau memanfaatkan skandal mereka untuk mendapatkan uang.”

Pria itu menaikkan pandangan sedikit ke atas sebelum mengangguk. “Salah satunya. Oleh karena itu aku bisa tahu dengan mudah bagaimana reaksi suamimu jika melihatmu bersamaku.”

“Playing victim,” gumam Leona.

“Tepat sekali. Dia akan melempar semua kesalahannya kepadamu, sehingga bersih dari skandal.” West menyandarkan punggung di kursi, lalu menyilangkan tangan. “Kau benar-benar cerdas.”

Leona menggeleng lesu. “Aku bodoh, West,” akunya dengan kepala tertunduk.

“Kau tahu apa yang kurasakan waktu melihatnya sebelum tuduhan tadi?”

West mengangguk singkat. “Kau ingin berlari dan memeluknya, bukan?”

Wanita itu menundukkan kepala dengan dalam. Perlahan tubuh gempal itu bergetar ketika isak tangis keluar dari sela bibirnya.

“Awalnya begitu, tapi setelah mendengar tuduhannya tadi rasa benciku jauh lebih besar.”

Wajah chubby Leona kemudian terangkat. Netra basahnya memandang pria yang duduk di samping. Tangan besar tersebut meraih jemari West dan menggenggamnya erat.

“Bantu aku menurunkan berat badan secepatnya, West. Aku ingin membalas semua perbuatan Mark, hingga membuatnya habis sampai ke akar-akarnya.” Sorot mata Leona perlahan berubah. Tidak ada lagi gurat kerinduan di sana, yang ada hanyalah kebencian yang sudah mencapai puncak.

“Bagaimana dengan rasa cintamu?” selidik lelaki itu.

“Hanya tinggal 40% setelah kejadian tadi.”

West mengangguk singkat. “Baiklah. Aku akan membuat persentase cintamu kepada pria itu menjadi 0%,” desisnya.

Tiba-tiba bunyi ponsel menyela percakapan serius di antara mereka. Sebuah panggilan masuk dari Shaun.

“Bagaimana?” sahut West setelah menggeser tombol hijau.

“Beres, Bos. Pria itu sudah pergi.” Terdengar tawa perempuan sebelum Shaun meneruskan perkataannya. Itu sudah pasti suara Cassie.

“Dia malu sekali, Bos. Kalau kau tahu bagaimana ekspresi temannya tadi, aku jamin kau tidak akan melupakannya.” Kali ini Cassie yang berbicara. “Andai bisa merekam kejadian tadi, pasti sudah kuperlihatkan padamu.”

West tersenyum lebar mendengar penjelasan kedua orang kepercayaannya. Dia mengalihkan pandangan kepada Leona yang keheranan. “Good job, Cassie. Kau memang selalu bisa diandalkan,” puji lelaki itu.

“Thanks, Boss,” pungkas Cassie ketika panggilan berakhir.

Pria itu kembali mengantongi ponsel, kemudian melihat lagi Leona yang masih menunggu penjelasan darinya.

“Itu dari Shaun dan Cassie?” tanya Leona tanpa bisa menutupi lagi rasa penasaran.

West mengangguk singkat. “Rencana berjalan lancar. Mereka puas melihat raut wajah Mark tadi.”

“Bagaimana?”

“Dia malu sekali dan sepertinya pria yang bersama dengannya tadi mulai paham lelaki seperti apa suamimu,” jelas West bersiap untuk berdiri.

Leona menarik napas berat. Dia belum bisa bernapas lega sekarang. Bisa jadi Mark akan menyebar rumor tentang dirinya dan West kepada seluruh orang yang kenal dengan mereka.

West berdiri seraya mengulurkan tangan kepada Leona. “Ayo ikut denganku!”

Leona menatap bingung. “Ke mana?”

“Pergi ke tempat yang tidak bisa dijangkau oleh Mark.”

Mata abu-abu Leona mengecil seketika. “Maksudmu?”

“Aku akan membawamu ke tempat di mana hanya ada kau dan aku. Kita berdua.” West mengedipkan sebelah mata. “Akan kubuat perasaan cintamu lenyap dalam waktu singkat, Leona.”

Bersambung....


BAB 7: New Place


Mata abu-abu lebar milik Leona mengitari rumah minimalis yang terbuat dari kayu. Suasana sekitar terasa begitu hening, karena rumah ini terletak di tempat terpencil. Jika saja West mengajaknya ke sini saat awal mereka bertemu, tentu ia akan menolak mentah-mentah. Tentu khawatir jika diculik dan disekap di sini hidup-hidup.

“Semoga kau menyukainya, Leona,” ujar West memandang wajah takjub wanita itu.

Leona menoleh dengan semringah. “Sure, West. I love it. Suasana di sini begitu tenang dan nyaman.”

West mengangguk cepat. “Aku bisa melihatnya. Ayo masuk!”

Dia menarik tangan Leona ketika melangkah memasuki rumah tersebut.

Begitu berada di dalam, Leona semakin dibuat terkesima dengan interior rumah. Sebuah kepala rusa terpajang di atas tungku perapian. Satu set meja kayu berada di depan tempat perapian. Tak jauh dari sana terdapat satu set sofa berukuran menengah.

“Ke mana Shaun dan Cassie?” Leona menoleh ke belakang karena tidak melihat suami istri itu sejak tadi. Padahal mereka ke sini beriringan dengan mobil masing-masing.

“Mereka ke supermarket dulu. Kita harus punya stok makanan banyak, karena lokasi supermarket dan rumah penduduk jauh dari sini.”

Sekarang giliran Leona yang mengangguk-anggukkan kepala dengan mata masih menatap kagum interior rumah.

West meneruskan langkah menuju satu-satunya kamar yang ada di rumah tersebut. “Ini kamarmu, Leona,” katanya membuka pintu.

Wanita bertubuh gempal itu melirik sekilas, sebelum bergerak ke dekat West. Dia masih melihat rumah yang hanya memiliki satu lantai tersebut. Sesaat kemudian keningnya berkerut.

“Kamarnya hanya satu?” tanya Leona bingung.

“Ya, hanya ada satu kamar di sini. Rumah ini hanya aku gunakan ketika ingin berburu,” jawab West sambil garuk-garuk kepala.

“Ini rumahmu?” Mata wanita itu membesar seketika.

“Ya. Aku membelinya dulu sekali.”

Leona melipat kedua tangan di depan dada sambil memandang West dengan penuh selidik. “Sepertinya kau orang kaya. Kenapa jadi penipu?”

West menarik napas berat sebelum menanggapi. “Aku akan ceritakan jika sudah waktunya. Sekarang kau masuk dan beristirahatlah.”

Pria itu meletakkan koper besar yang dibawa Leona.

“Bagaimana denganmu?”

Tangan West terangkat ke atas, kemudian menggaruk tengkuk dengan ujung ibu jari. “Aku bisa tidur di sofa atau di depan tempat perapian.”

Leona menunjukkan wajah sungkan. Dia menggeleng singkat. “Sebaiknya kau yang tidur di kamar dan aku di luar.”

“Tidak, Leona. Kau perempuan, tidak baik tidur di luar. Apalagi rumah ini jauh dari rumah lainnya.”

West sengaja mengajak Leona ke tempat yang jauh, agar bisa konsentrasi menurunkan berat badan. Terus tinggal di kota akan memberi peluang baginya untuk bertemu dengan Mark lagi.

“Don’t worry, tidak masalah bagiku tidur di mana saja,” sambung West tak ingin Leona merasa sungkan lagi.

Akhirnya wanita itu menuruti kemauan West. Dia bergerak masuk ke dalam, lantas membuka lemari pakaian yang terbuat dari kayu dengan desain klasik. Setelah meletakkan seluruh pakaian yang ada di dalam koper, Leona kembali menemui pria itu di luar.

“Apa tidak ada binatang buas di sini?” Leona mengajukan pertanyaan.

West menggelengkan kepala. “Hutan masih jauh dari sini.”

Sesaat kemudian ia menyeringai. “Kenapa? Kau takut jika ada beruang yang ingin memakan dagingmu?” ledek pria itu sambil menirukan gaya cengkeraman beruang.

“Siapa yang takut? Aku hanya ingin tahu saja,” tanggapnya seraya memutar bola mata.

Leona mengedarkan lagi pandangan ke setiap sudut rumah minimalis tersebut. “Shaun dan Cassie akan tidur dimana?”

West melangkah menuju koper yang dibawa, lantas meletakkannya di pinggir dekat sofa. Dia kembali melihat kepada Leona yang masih menunggu jawabannya.

“Mereka tidak di sini bersama kita, Leona.”

“What?” Mata abu-abu Leona terbelalak mendengar perkataan West. Artinya mereka hanya tinggal berdua di rumah yang jauh dari keramaian ini?

“Aku sudah katakan sebelumnya, bukan?” Kaki West kembali bergerak ke dekat Leona. “Aku akan membawamu ke tempat yang hanya ada kau dan aku.”

Penjelasan West barusan membuatnya menelan ludah seketika.

***

Menjelang makan malam, Leona mempersiapkan makanan untuk West, Cassie dan Shaun. Sebelum suami istri tersebut kembali lagi ke kota, mereka harus membahas rencana tiga bulan ke depan.

“Wah sepertinya enak,” cetus West mengusap kedua belah tangan sebelum mengambil garpu dan pisau.

Malam ini Leona memasak steak daging rusa dan salad. Dia masih diperbolehkan makan daging rusa, karena tidak mengandung karbohidrat. Daging rusa cocok untuk diet karena protein yang tinggi.

“Selamat makan. Semoga kalian menikmatinya,” ujar Leona melihat ketiga orang yang bersama dengannya.

Mereka semua makan malam dengan tenang, tanpa bersuara. Wanita bertubuh gempal tersebut memperhatikan ekspresi mereka yang makan dengan lahap. Senyum mengembang di wajah saat tahu mereka suka dengan masakannya.

“Wah, ini steak rusa paling enak yang pernah kucoba,” puji Cassie mengacungkan ibu jari setelah makan malamnya tandas.

“Benarkah?” tanya Leona tak percaya.

Shaun ikut mengangguk membenarkan perkataan istrinya. “Sangat empuk. Bumbunya juga meresap sempurna ke dalam daging.”

Senyum semakin lebar di pipi chubby Leona.

“Tiga bulan berada di sini, bisa-bisa aku yang gemuk,” komentar West sembari menyeka sudut bibir dengan serbet.

Leona berdecak, lantas menyikut lengan pria itu. “Baguslah. Aku kurus dan kau yang gemuk. Biar tahu bagaimana rasanya menjadi gendut.”

Wanita bertubuh besar itu mengambil piring bekas makan malam.

“Nanti saja dirapikan lagi. Kita harus diskusikan rencana ke depan.” West menghentikan Leona yang sedang merapikan meja makan.

Dengan patuh wanita itu melepaskan pegangan di piring yang akan disusun.

“Kita ke sana dulu,” ajak West mengerling ke sofa.

Mereka berjalan beriringan menuju sisi lain ruangan. Cassie dan Shaun duduk berdampingan di sofa yang cukup untuk dua orang, sementara West duduk di sofa single. Leona mengambil tempat di sofa panjang. Wanita itu tahu persis tubuh besarnya membutuhkan tempat yang luas untuk duduk.

“Oke. Langsung saja, karena Shaun dan Cassie harus kembali lagi ke Earth Ville.” West duduk sambil bersandar di punggung sofa.

“Shaun dan Cassie, tolong terus awasi pergerakan Mark. Laporkan berita apa saja tentang pria itu kepadaku. Jangan sampai ada yang terlewatkan,” titah pria itu kepada dua orang rekan kerjanya.

Suami istri itu mengangguk paham.

“Aku yakin sekarang dia menyusun rencana untuk menyudutkan Leona. Oleh karena itu aku membawanya ke sini,” sambung West kemudian.

Dia sudah bisa memprediksi apa yang akan dilakukan oleh suami Leona. West diam sebentar sebelum kembali berujar, “Mengenai pekerjaan kita yang lain, sebaiknya ditunda dulu.”

“Tidak, West. Jangan sampai masalahku mengganggu pekerjaanmu,” sela Leona keberatan.

Pria itu menggeleng dengan cepat. “Rehat bekerja selama tiga bulan, tidak akan membuat kami miskin Leona,” tanggap West disambut anggukan dari Shaun dan Cassie.

Mata abu-abu Leona menyipit seketika. “Sepertinya pendapatan kalian di luar dugaanku.”

“Kau benar, Leona. Lebih dari yang kau pikirkan,” komentar Cassie manggut-manggut.

“Tenang. Setelah kau kurus nanti, kita bisa mencari uang yang lebih banyak lagi,” imbuh Shaun tidak menunjukkan wajah keberatan sama sekali.

Leona menatap haru ketiga orang itu satu per satu. Dia boleh saja kehilangan satu orang, tapi lihatlah sekarang, ia bertemu dengan tiga orang yang tulus membantunya.

“Thank you so much. Aku bersyukur bisa bertemu dengan kalian semua,” ucap Leona melihat mereka bergantian, “aku berjanji akan bekerja maksimal setelah kurus nanti. Percayalah!”

“Karena itu, kau harus fokus dengan programmu, Leona. Persiapkan tenaga juga untuk melakukan hiking ke bukit belakang sana setiap pagi,” tutur West tersenyum di salah satu sudut bibir. Dia tidak tahan membayangkan, bagaimana ekspresi wanita itu ketika menjalani program penurunan berat badan nanti.

“Oke. Siapa takut? Akan kutunjukkan padamu, kurang dari dua bulan berat badanku sudah mencapai size zero sesuai dengan target yang kau berikan.”

Shaun bertepuk tangan sambil berdecak kagum. Dia suka dengan semangat Leona. “Semoga hari-harimu menyenangkan di sini, Leona.”

“Oya, jangan lupa kumpulkan bukti perselingkuhan Mark dan skandal yang pernah dilakukannya.” West melihat kepada Cassie sebelum berkata lagi. “Kau akan jadi pengacara Leona, Cassie.”

Kedua alis Leona terangkat ke atas mendengar perkataan West lagi. Bagaimana bisa seorang penipu menjadi pengacara?

“Apa bisa seperti itu, West?” tanya Leona ragu.

“Kenapa tidak bisa?” West menegakkan tubuh, kemudian mengerling kepada Cassie. “Perlihatkan kepadanya, Cassie.”

Wanita yang memiliki rambut asli berwarna pirang itu mengeluarkan kartu berukuran kecil dari dalam tas. Dia menyerahkannya kepada Leona.

“Lisensiku sebagai pengacara,” ungkapnya membuat wanita berwajah chubby itu tercengang.

Keningnya berkerut bingung melihat West, Shaun dan Cassie bergantian.

“Itu asli, Leona.” West kembali bicara.

“Bagaimana bisa?” Leona masih kebingungan.

“Sorry, kami belum bisa menceritakannya kepadamu. Intinya selama ini Cassie yang selalu membantu kami lolos dari jeratan hukum,” cicit West melihat bangga kepada rekan kerja wanitanya itu.

Leona membuang napas lesu. “Ternyata aku belum tahu apa-apa tentang kalian.”

Wanita itu melempar telunjuk kepada Shaun. “Jangan bilang kalau kau seorang detektif,” gumamnya menyipitkan mata.

Shaun tertawa lepas. “Aku bukan detektif atau sejenisnya, Leona. Aku hanya seorang ahli IT yang bekerja dengan Bos,” elaknya.

Mereka kemudian berbicang hingga satu jam ke depan, sebelum Shaun dan Cassie kembali ke Earth Ville.

Suasana menjadi canggung ketika suami istri tersebut sudah pergi meninggalkan rumah. Tidak ada percakapan di antara West dan Leona sekarang. Hening. Hanya suara burung hantu dan jangkrik yang berbunyi sesekali di luar. Andai ini adalah cerita horor, tentu akan terdengar lolongan anjing dan tawa melengking dari kejauhan.

“Sebaiknya aku tidur,” desis Leona memecah kesunyian.

West mengangguk singkat. “Kau harus istirahat. Setelah sarapan besok, kita akan melakukan perjalanan.”

“Ke mana?”

“Bukit yang ada lima kilometer dari sini.”

“Baiklah. Aku akan ambilkan bantal dan selimut untukmu,” kata Leona berdiri kemudian melangkah ke dalam kamar.

Begitu tiba di dalam kamar, ia mencari keberadaan selimut tebal yang bisa menghangatkan pria itu. Dia yakin malam akan terasa dingin di daerah ini.

“Kenapa tidak ada selimut lagi di sini?” bisiknya pada diri sendiri.

Tangannya masih mencari keberadaan selimut lain di dalam lemari.

“Aku tidak menemukan selimut. Di mana kau letakkan, West?” teriak Leona dari dalam kamar.

Tidak ada jawaban dari pria itu.

“West?” panggilnya lagi.

Leona mendongakkan kepala ke arah pintu dan memanggil West.

“Apa dia tidur? Secepat itu?”

Akhirnya ia memutuskan untuk melihat West di luar. Ternyata benar, pria itu sudah memejamkan mata dengan kepala berada di lengan sofa.

Leona berdecak sambil menggelengkan kepala. “Dia pasti kelelahan setelah melakukan perjalanan jauh.”

Dia kembali lagi ke kamar membawa bantal dan selimut untuk West. Setelahnya kembali keluar.

Wanita itu meletakkan selimut dan bantal di sofa single tidak jauh dari West tidur. Dia menutupi tubuh tinggi tersebut dengan satu-satunya selimut yang ada di sana. Tak lama kemudian, Leona menyelipkan tangan di sela kepala dan lengan sofa, agar bisa mengangkat kepala pria itu.

Saat akan meletakkan bantal, West membuka mata sehingga pandangan keduanya bertemu. Leona terkesiap saat melihat netra biru kecil itu menatapnya lekat. Suasana yang tadinya canggung menjadi bertambah canggung ketika mereka berada di saat seperti ini. Sunyi, berdua saja dan penerangan seadanya.

Pandangan West beralih ke bibir kemerahan milik Leona. Sementara wanita itu masih bergeming entah sedang memikirkan apa.

Deg!

Deg!

Deg!

Bersambung....


BAB 8: New Hope


“Maaf, aku hanya ingin memberikan bantal dan selimut ini kepadamu,” ucap Leona ketika suasana semakin terasa tegang. Lebih menegangkan dibanding film horor yang pernah ditontonnya bersama dengan Mark dulu.

Dia menarik napas panjang sebelum mundur sedikit ke belakang. Entah kenapa jantungnya menjadi terusik ketika melihat wajah West dari jarak dekat. Apalagi mereka sempat berbagi pandang beberapa saat. Untuk pertama kali dalam sepuluh tahun, Leona merasa debaran tak biasa di dalam diri.

Ini hanya karena terbawa suasana saja. Jangan berpikir aneh-aneh, Leona, gumamnya dalam hati.

“Selimutnya hanya satu, Leona.” West mengubah posisi menjadi duduk, lantas menyerahkan lagi selimut kepada Leona.

Wanita itu menggeleng. “Buatmu saja. Lemakku masih cukup untuk menghangatkan tubuh,” sahutnya setengah bercanda.

West tergelak mendengar perkataan Leona barusan. “Di sini dingin ketika malam hari. Kau yakin lemakmu itu bisa menghangatkan?”

Leona menggangguk cepat, lantas berdiri.

Dengan cekatan West menahan tangannya dan menyerahkan lagi selimut tersebut. “Aku yakin kau akan menggigil tiga jam lagi, jika tidak mengenakannya.”

“Bagaimana denganmu? Apa kau tidak kedinginan?” protes Leona melebarkan mata.

“Aku bisa menggunakan jaket dan menyalakan perapian,” balas pria itu menaikkan sebelah alis.

“Tetap saja di luar dingin, West.” Leona menyodorkan lagi selimut yang diberikan pria berambut cokelat tersebut.

West menarik napas panjang. “Kalau begitu kita sama-sama tidak mengenakan selimut.”

“West?” Wanita bertubuh gempal itu memberi tatapan memohon. Dia tidak tega melihat West kedinginan di luar.

“Aku juga tidak bisa membiarkanmu kedinginan, Leona. Kau belum tahu bagaimana dinginnya di sini ketika pagi menjelang.”

Leona terdiam sambil menggigit bibir bawah. Pandangannya terangkat melihat plafon yang didominasi oleh kayu.

“Bagaimana kalau kau tidur denganku di dalam?” Wanita itu menggelengkan kepala cepat. “Jangan berpikiran negatif. Maksudku malam ini kita berbagi selimut dulu. Besok kita ke kota mencari selimut.”

West tergelak lagi mendengar usulan Leona. “Kota terlalu jauh, Leona. Supermarket di sini tidak menjual perlengkapan tidur. Mereka hanya menjual barang harian.”

Wanita itu melongo mendengar perkataan West. “Apa kau mau tidur tanpa selimut?”

“Setidaknya sampai Cassie dan Shaun datang ke sini lagi.”

“Kalau begitu minta mereka datang mengantarkan selimut besok,” saran Leona.

West melipat tangan di depan dada dengan pandangan melihat Leona. “Dengarkan aku baik-baik Nyonya Sinclair. Ko—”

“Panggil aku Leona. Jangan pernah sematkan nama itu lagi!” sela Leona keberatan.

“I am sorry. Maksudku Nona Parker.” Pria itu menempelkan kedua tangan di depan kening. “Jarak dari sini ke kota empat jam perjalanan. Aku tidak bisa meminta mereka datang ke sini, karena kasihan Shaun harus mengemudi lagi hanya untuk mengantarkan selimut.”

Bahu Leona turun ke bawah ketika tidak bisa lagi berargumen. Dia kalah, tapi tidak bisa juga membiarkan West kedinginan di luar.

“Sekarang kau tidur saja di dalam dan bawa selimut ini,” suruh West mengerling ke kamar.

“Tapi—”

“Apa kau mau kita tidur berdua di kasur yang sama?” cicit West sebelum wanita itu berkata lagi.

Leona terdiam sebentar. Dia kembali memutar otak agar bisa mencari solusi yang tepat. Buntu! Tidak ada ide cemerlang yang diproduksi oleh pikirannya yang lelah.

“Sebaiknya begitu dulu,” desisnya pelan.

“Kau yakin?”

Kepala yang dihiasi rambut lurus berwarna hitam tersebut mengangguk pelan.

“Bagaimana jika nanti aku—”

“Kau tidak akan macam-macam denganku,” potong Leona penuh keyakinan.

West tertawa melihat wajah Leona yang menurutnya lucu ketika mengatakan kalimat tadi.

“Tidak ada yang tertarik dengan wanita gendut sepertiku, West.” Leona nyengir memperlihatkan gigi putihnya.

Pria itu hanya geleng-geleng kepala mendengar apa yang diucapkan oleh Leona.

“Ayo tidur, aku sudah mengantuk,” ajak wanita tersebut melangkah memasuki kamar.

Leona tidak punya pilihan lain. Mau tidak mau, ia harus berbagi kamar dan selimut dengan West. Bagaimana bisa ia tega membiarkan pria itu tidur di luar sendirian dan kedinginan?! Lagi pula rumah ini adalah milik West.

Begitu mencapai tempat tidur, Leona menunjuk ke sisi kanan kasur. “Aku tidur di sana. Kau tidur di sisi kiri.”

“Selimutnya besar, jadi masih bisa digunakan jika tidur berjarak,” sambungnya lagi.

West mengangguk singkat sambil meregangkan tubuh. Otot-ototnya terasa pegal setelah perjalanan panjang tadi siang.

Tak lama kemudian mereka mengambil posisi masing-masing, seperti yang telah ditentukan oleh Leona. Suasana hening dalam canggung kembali menyelusup di antara keduanya.

Leona memilih menghadap ke dinding, sementara West telentang melihat plafon.

“West,” panggil Leona tanpa menoleh ke belakang.

“Hmmm….”

“Apa kau yakin berat badanku bisa turun dalam waktu singkat?” Leona kembali gamang memikirkan tenggat waktu yang diberikan West.

“Tentu saja. Kau memiliki niat yang kuat sekarang,” sahut West memejamkan mata.

Leona mengangguk pelan. “Aku akan berusaha semaksimal mungkin.”

Dia memutar balik tubuh, sehingga kasur itu bergoyang. Leona tersenyum lembut kepada pria yang ada di depannya sekarang.

“Aku akan membuatmu bangga, West,” janji Leona tanpa ragu.

Dukungan penuh dari pria yang baru saja dikenal beberapa hari yang lalu, membuat harapan baru tumbuh dalam dirinya. Dia berjanji kepada diri sendiri akan berusaha semaksimal mungkin, agar bisa terlahir kembali menjadi sosok yang baru.

***

Napas mulai keluar memburu dari sela hidung dan mulut Leona bersamaan. Baru berjalan sebentar, ia sudah kewalahan. Ingin rasanya berputar arah dan kembali lagi ke rumah kayu yang baru saja ditinggalkan tiga puluh menit yang lalu.

“Masih jauh, West?” gumamnya sembari menyeka keringat yang bercucuran di kening.

Lelaki berambut cokelat itu mengangguk. “Belum setengahnya.”

Langkah Leona langsung berhenti. “Apa maksudmu bukit yang ada di sana?” katanya menunjuk bukit yang masih jauh dari tempat mereka berada.

West kembali mengangguk. “Aku sudah bilang, jaraknya lima kilometer.”

Mata Leona melebar tanpa berkedip. “Kau jangan bercanda, West.”

“Aku sedang tidak bercanda, Leona.” Pria itu memasukkan kedua tangan ke dalam saku hoodie yang dikenakan. “Kita akan rutin melakukan ini pagi-pagi setelah sarapan.”

Tubuh gempal itu lemas seketika. Tilikan netra abu-abu Leona berpindah ke arah bukit yang ada empat kilometer dari tempat mereka berdiri.

“Kenapa harus ke sana?” keluhnya lesu seperti orang yang baru putus harapan.

“Agar berat badanmu turun dengan cepat.” West mendesah pelan lantas menunjuk ke arah kepala turun ke kaki Leona. “Lihatlah berapa banyak kalori yang selama ini mengendap dalam tubuhmu, sehingga menjadi lemak seperti ini.”

“Dengan banyak bergerak, seluruh lemak yang ada dalam tubuhmu itu akan luruh,” lanjutnya lagi.

“Tapi West, aku—”

“Kita sudah sepakat sebelumnya, Leona.” Pria itu melipat kedua tangan di depan dada dan mematut Leona lekat. “Tadi malam kau bersemangat, kenapa sekarang jadi seperti ini?”

Wanita bertubuh besar itu hanya diam sambil mengangkat bahu. “Aku hanya khawatir jika pingsan di jalan atau terjadi sesuatu denganku. Kau pasti akan repot.”

West menghela napas singkat, lantas menarik tangan wanita itu. “Berhenti mengeluh dan berpikiran yang tidak-tidak. Itu akan menghambat keinginanmu untuk balas dendam. Sekarang fokus dengan tujuanmu.”

Leona bergeming membuat laki-laki itu tidak bisa menarik tangannya. Dia terdiam beberapa saat sebelum akhirnya ikut ke mana West akan membawanya.

Dua jam kemudian, mereka akhirnya tiba di bukit tersebut. Leona memandang takjub hamparan pepohonan dan aliran sungai kecil yang mengalir dari atas menuju bawah bukit. Lelah yang terasa di sepanjang perjalanan sirna sudah.

“Bagaimana menurutmu?” desis West sedikit mengeraskan suara agar bisa mengalahkan suara aliran sungai.

“Amazing!” Wanita itu berjalan ke bibir sungai, lalu duduk di atas batu besar. “Aku tidak pernah menyangka akan pergi ke tempat seperti ini.”

Kening West berkerut sebentar. “Apa ini pertama kalinya kau ke bukit yang ada aliran sungai?”

Kepala Leona bergerak ke atas dan bawah, sebelum menoleh kepada West dengan semringah. “Ternyata dunia sangat luas.”

“Ini belum seberapa, Leona. Setelah misi kita selesai, aku akan membawamu ke tempat yang lebih indah dari ini.”

“Ke mana?”

West mengambil tempat duduk tepat di samping Leona. “Mount Everest.”

Bibir mungil yang terisi penuh itu terbuka, perlahan mengeluarkan suara tawa. Tangan Leona naik menepuk lengan berotot West.

“Kau jangan bercanda, West. Itu jauh sekali.”

“Tidak a—” Kalimat yang akan dilontarkan West harus berhenti saat ponselnya berdering di tengah suara aliran sungai.

“Apa di sini ada sinyal?” tanya Leona kebingungan, mengingat mereka berdua ada di area perbukitan.

“Terkadang ada. Sebentar,” jawab West mengeluarkan ponsel dari saku.

Mata biru West bergerak melihat nama yang tertera di layar ponsel. Ternyata sebuah panggilan masuk dari Shaun.

“Ya, Shaun. Ada apa?”

“Bos. Aku baru saja mendapat kabar. Kalau su … ajukan … rai,” sahut Shaun terdengar jelas di awal namun putus-putus di akhir.

“Kalau apa, Shaun? Suaramu tidak jelas. Terputus,” ujar West.

Dia menyalakan loudspeaker, lantas mengulurkan tangan yang memegang ponsel ke atas.

“Mi … adil …rat,” ulang Shaun masih terputus.

Rupanya jaringan yang tidak terlalu bagus membuat komunikasi tidak berjalan lancar.

“Shaun. Coba kirimkan pesan sa—”

Tuuut!

Lagi-lagi kalimat yang akan diucapkan West berhenti saat panggilan terputus.

“Shaun?” tebak Leona.

West mengangguk singkat seraya mengetikkan pesan kepada Shaun.

“Aku jadi tidak enak kepadamu, West.” Leona menatap nanar aliran sungai yang tampak begitu jernih. “Kau meninggalkan pekerjaan demi membantuku di sini.”

Pria berahang tegas itu menoleh kepada Leona. Senyum tipis tergambar di parasnya.

“Jangan berkata begitu. Aku hanya ingin melakukan perintah malaikat.”

Leona tetawa mendengar kata malaikat yang diucapkan pria itu. “Apakah benar malaikat yang menyuruhmu?”

“Kau tidak percaya?”

“Siapa yang percaya, West? Jangan konyol.”

Bunyi pesan masuk menyela pembicaraan mereka. Itu pasti pesan dari Shaun.

West langsung membuka layar ponsel dan membaca pesan yang baru saja diterima. Embusan napas keras keluar dari sela bibirnya.

Mata abu-abu Leona mengecil ketika melihat perubahan wajah West. “Kenapa? Apa ada masalah?”

Pria itu memperlihatkan tampilan layar ponsel kepada Leona. “Aku tidak menyangka dia akan mengajukan berkas perceraian secepat ini.”

Udara mendadak lenyap di sekitar Leona berada, sehingga napasnya terasa sesak. Tubuhnya bergetar hebat membaca pesan yang baru saja dikirimkan oleh Shaun. Ditambah lagi dengan foto formulir yang dibubuhi tanda tangan Mark.

Shaun: Mark sudah mendaftarkan perceraian kemarin. Dia menggugat Leona atas tuduhan perselingkuhan. Fotomu dan Leona juga dijadikan sebagai bukti.

Bersambung....



Comentários


bottom of page