Ringkasan
Warning (21+) Isabell Fernandez, dia adalah seorang Nona Muda dari keluarga yang berkasta tinggi di Meksiko. Bukan hanya itu, dia juga seorang model terkenal dan istri seorang CEO tampan kaya raya bernama Damian Devardo de Castijo. Namun semua itu hancur karena ketamakan dan kelicikan sang ibu mertua. Isabell harus mengalami nasib yang sangat buruk. Dia dilecehkan lalu dibuang ke jurang atas perintah sang ibu mertua. Dan saat dirinya tersadar, dia bukan lagi wanita terhormat dan istri dari CEO tampan kaya raya, melainkan seorang penari erotis di sebuah bar kasino di kota New York, Amerika Serikat. Karena mengalami amnesia, Isabell tetap menjalani hidupnya sebagai seorang penari erotis yang harus menari dengan busana minim di hadapan banyak pria. Lantas, bagaimana dengan sang suami? Apakah Damian tidak mencarinya? Tentu saja dia mencarinya dan terus mencarinya. "Bos, penari erotis itu sangat mirip dengan istri Anda, Nyonya Isabell Fernandez." "Apa?" Bagaimanakah kisah selanjutnya? Apakah Damian dan Isabell bisa kembali bersatu, setelah banyak konflik yang terjadi?
Presdir Pengkhianatan Menantu Tuan Muda Romansa Billionaire Pernikahan Istri Flash Marriage Dewasa
HMT 1 - DEVARDO HOUSE
Negara Meksiko Serikat atau Meksiko (bahasa Spanyol : Estados Unidos Mexiconos atau Mexico) adalah sebuah negara yang terletak di Amerika Utara dan perbatasan dengan Amerika Serikat, Guatamala dan Belize di sebelah tenggara, Samudra Pasifik di barat Teluk Meksiko dan laut Karibia di sebelah timur.
Ia merupakan negara terbesar di Amerika Latin dan juga negara yang paling banyak berbahasa Spanyol. Nama negara ini di ambil dari nama ibu kotanya yang berasal dari nama ibu kota kuno Aztec yaitu Mexico.
***
Pagi yang cerah di musim panas. Tercium wangi roti tortela yang sedang di panggang dengan olesan margarin yang meleleh. Sepertinya seseorang sedang membuat taco dengan isian daging sapi pagi ini.
Aroma lezat itu tercium dari salah satu mansion mewah yang berada di kawasan pemukiman elit, yang hanya di huni oleh para kaum Jetset saja. Hunian mewah itu bernama Lavender Village.
Mobil BMW keluaran terbaru yang dikeluarkan musim panas tahun ini dengan edisi terbatas tampak menepi di pelataran mansion dengan bangunan menyerupai bungalow mewah. Tak lama kemudian terlihat dua orang yang keluar dari mobil itu dengan penampilan mereka yang tampak glamour.
"Ayo, Sayang," ucapan hangat lengkap dengan senyuman manisnya menyambut tangan seorang gadis yang baru saja keluar dari mobil.
Damian Devardo de Castijo, CEO sukses yang baru saja tiba di rumahnya. Tangannya terulur menyambut tangan Isabell Fernandes, model cantik yang baru saja ia nikahi dua hari yang lalu.
"Terima kasih," sambut Isabell sambil tersenyum manis. Selanjutnya ia menggapit lengan Damian untuk berjalan menuju pintu. Keduanya berjalan bergandengan mesra layaknya sepasang pengantin baru.
Damian dan Isabell telah menjalin hubungan asmara sejak tiga tahun lamanya, saat keduanya masih berkuliah di Malinalco ( Mexico State ) namun di universitas yang berbeda. Damian menekuni fakultas bisnis sedangkan Isabell memilih modeling.
Keduanya tampak sangat bahagia atas pernikahan mereka, terlebih saat Damian memboyong Isabell untuk tinggal bersamanya di Devardo Hause, begitu mereka menyebut mansion mewah itu.
Langkah anggun Isabell menjadi pusat perhatian pagi itu bagi semua orang yang menyambut mereka, dari beberapa anggota keluarga Damian sampai para pelayan yang juga tampak berbaris rapi menyambut keduanya. Isabell sangat senang, dia merasa disambut begitu hormat bak seorang puteri raja.
Dia memang pantas mendapatkan perlakuan seperti itu. Pasalnya, Isabell Fernandes adalah puteri tunggal Alfredo Fernandes de Arta Milano, seorang pembisnis terkenal yang memiliki kekayaan sampai puluhan milyar peso di Meksiko.
Tak ada kejanggalan di sini. Mereka sungguh pasangan yang sangat serasi, dari segi fisik maupun financial.
Sepasang manik kebiruan Isabell memindai ruangan luas dimana sepasang tungkainya berdiri saat ini.
Di sana tampak tiga orang yang sedang berdiri menyambutnya. Mereka adalah Liana, Pedra dan suaminya, Berto. Ketiganya memusatkan manik matanya pada gadis dengan balutan gaun pres body warna merah marun itu.
Rambutnya tergerai rapi seperti baru saja melakukan perawatan di salon, wajahnya sangat cantik dan tirus bak maneken di mall, dan aroma parfumnya mulai menyeruak indera penciuman mereka.
Isabell memang sangat cantik seperti para paparazi bicarakan. Dia seorang model yang sedang bersinar sepanjang musim panas ini.
"Selamat datang sayangku, Isabell. Kau sangat cantik pagi ini," sambut Liana alias Nyonya Devardo, ibu tiri Damian.
"Terima kasih, Ibu." Isabell membalas seraya tersenyum pada Damian yang berdiri di sampingnya.
Nyonya Devardo ikut tersenyum dan memperhatikan Isabell dengan intens. Gadis di depannya itu sungguh sangat anggun, pilihan Damian patut di acungi jempol. Namun tiba-tiba sepasang maniknya terkesiap pada kalung berlian yang tergantung pada leher jenjang Isabell.
"Waw, berlianmu sangat cantik, Isabell. Aku tebak, ini pasti koleksi Istambul yang tersohor itu, kan?" Nyonya Devardo menatap Isabell dengan wajah sumbringahnya.
Pedra ikut terpengarah dan meliarkan matanya pada leher Isabell. Benar, kalung berlian itu tampak sangat indah dan menggoda. Sudah pasti harganya sangat mahal.
"Kau benar, Ibu. Berlian Isabell sangatlah indah," timpal Pedra kemudian sambil tersenyum penuh misteri.
Isabell dan Damian saling pandang sambil tersenyum.
"Bukan, ini bukan koleksi Istambul. Tapi kalung ini pemberian Ibuku. Ini adalah berlian turun temurun keluarga kami," ucap Isabell meluruskan sangkaan ibu mertua dan kakak iparnya itu.
Nyonya Devardo dan Pedra saling pandang lantas tertawa kecil.
"Astaga, ternyata tebakkanku salah. Baiklah, aku tahu kau dan Ibumu sangat hapal tentang berlian. Dan selera kalian sangatlah bagus," ucap Nyonya Devardo tanpa memadamkan senyumnya. Pedra hanya tersenyum menimpali.
"Baiklah, ayo kita makan dahulu. Silvester sudah menyiapkan semuanya pagi ini. Terutama untuk menyambut menantu bungsu di keluarga ini," lanjut Nyonya Devardo yang segera menggiring semua orang menuju meja makan.
Berto yang berjalan paling belakang tampak tersenyum misterius memandangi Damian dan Isabell yang sudah berjalan berdampingan dengan Nyonya Devardo dan Pedra.
Mereka menghentikan langkahnya di depan meja makan panjang nan besar yang terbuat dari kristal asli. Di atasnya tampak banyak hidangan lezat yang tersaji dengan aroma yang menggugah selera.
Damian dan Isabell duduk pada bangku yang bersisian sedangkan Pedra dan Berto pun demikian, dan mereka berempat duduk saling berhadapan. Hanya Nyonya Devardo yang duduk sendiri pada kursi khususnya yang ada di ujung meja, menengahi semua orang yang ada di sana.
"Ayo makanlah," seruan Nyonya Devardo sambil mengibarkan senyum manisnya untuk Isabell. Gadis itu membalas senyum dan mulai menikmati hidangan di meja.
Damian tampak menunjukan perhatiannya pada Isabell, menyuapi istrinya makan di depan anggota keluarganya. Pedra dan Berto tampak jengah melihatnya. Sedangkan Nyonya Devardo hanya tersenyum miring melihat kemesraan mereka.
Usai makan Damian dan Isabell berpamitan untuk beristirahat di kamar mereka yang ada di lantai tiga mansion itu.
Isabell tak banyak melakukan pendekatan dengan keluarga barunya, terlebih dirinya memang bukan tipikal orang yang mudah akrab dengan orang lain.
Baginya yang terpenting adalah Damian, terserah dengan ibu mertuanya yang misterius itu atau kakak iparnya yang tampak matrealistis. Isabell memang sangat pandai menilai orang lain tanpa tahu kebenarannya.
"Hubby, apakah kita akan selamanya tinggal di rumah ini?" tanya Isabell yang sedang duduk di depan meja riasnya sambil menepuk kedua pipinya dengan serum safron Kasmir.
Damian yang sedang sibuk dengan layar laptopnya sambil bersandar pada kepala ranjang langsung menoleh padanya.
"Benar, lagi pula mansion ini adalah rumahku dan rumahmu juga, Sayang." Damian tersenyum tipis dan kembali pada layar laptopnya.
Isabell menghela napas mendengar ucapannya itu. Dia pun memutar tubuhnya, merubah posisi duduknya menghadap pada pria tampan yang tampak sibuk dengan laptopnya di sana.
"Apakah Ibu dan Kak Pedra juga akan tetap tinggal bersama kita?" tanyanya. Damian menghentikan aktivitasnya sejenak, kemudian menoleh pada Isabell dengan wajah datarnya.
"Ya. Kau tak keberatan kan, jika mereka tinggal bersama kita di sini?" ucapnya kemudian.
Isabell memutar bola mata kebiruannya jengah.
Apa-apaan ini? Jadi dia harus tinggal dengan Ibu mertua dan Kakak iparnya itu?
Astaga, akan serumit apa bahtera pernikahannya nanti? Isabell tak bisa membayangkanya. Mungkin rumah tangganya akan dipenuhi drama layaknya serial telenovela.
HMT 2 - IBU MERTUA CULAS
Pagi itu sinar sang surya muncul dengan malu-malu dari upuk timur. Sinar keemasannya menerpa bangunan kokoh Devardo House, membuat bayangan panjang nan besar yang memayungi taman bunga yang ada di samping kiri bangunan. Tampak beberapa aktivitas para pelayan yang sedang mengerjakan rutinitas mereka pagi ini.
Devardo House memiliki kurang lebih 30 orang pelayan yang terdiri dari 20 orang wanita muda umuran sekitar 25 tahunan, dan sisanya pria yang bekerja dan bertugas sebagai tukang kebun dan penjaga.
Mereka mendapatkan upah yang besar dan di terimanya setiap dua kali dalam satu bulan, sesuai kebijakan pemerintah Meksiko pasal gaji para pekerja yang harus di bayar setiap dua kali dalam satu bulan penuh.
"Pagi, Nyonya Muda." seorang pelayan menyapa Isabell yang baru saja keluar dari kamar mandinya.
Gadis itu hanya mengenakan bathrobe warna putih. Wajahnya datar-datar saja, tak ada respon untuk si pelayan. Dan si pelayan hanya tersenyum lalu mulai menghampiri ranjang king size di sana yang tampak berantakan.
Isabell berjalan menuju ruang ganti sambil memindai netranya pada seisi kamar. Dia sedang mencari Damian yang tak nampak di mana pun.
"Hei, dimana Damian? Apakah dia sudah berangkat ke kantor? Ah, sial!" Isabell berkata sendiri sambil berjalan-jalan kecil mencari suaminya.
"Tuan Muda Devardo ada di lantai dua, Nyonya. Maaf bila saya telah lancang," ucap si pelayan dengan tangannya yang sedang membenahi ranjang Isabell, sedangkan wajahnya menoleh pada istri Tuannya itu. Isabell menoleh padanya.
"Oh, ya? Baguslah. Aku pikir dia sudah berangkat," tukas Isabell dengan wajah sinisnya kemudian dia segera berjalan menuju ruang ganti.
Si pelayan hanya tersenyum tipis menanggapi. Hal yang biasa terjadi. Penghuni Devardo House selalu menunjukan sikap yang tak bersahabat. Mungkin itu cara mereka untuk menunjukkan jarak antara seorang pelayan dan Tuannya.
Langkah Isabell menepi di depan sebuah lemari kaca nan besar dan tinggi. Di gesernya dua daun pintu lemari itu pada masing-masing sisi. Matanya mengamati beberapa gaun yang tergantung rapi dan berbau wangi di dalam sana.
Bibirnya mengulas senyum pada sehelai gaun dengan warna hitam. Tangannya yang putih dan licin segera menyambarnya.
Pilihan yang tepat. Gaun musim panas warna hitam itu sangat cocok di tubuhnya. Gaun dengan bahan lembut dan nyaman di pakai, panjang selutut dengan bagian bahunya yang terbuka. Membuat kesan seksi nan glamour yang disukai Isabell.
"Waw, kau sangat cantik, Isabell Fernandes," tukasnya memuji dirinya sendiri dengan takjub di depan cermin setinggi dirinya.
Usai mematut penampilannya Isabell segera berjalan menuju lantai dua untuk mencari suaminya. Ah, entah dimana pria tampan itu berada. Isabell terus memindai matanya sambil menuruni anak tangga menuju lantai dua.
Langkahnya mulai terayun menuju balkon, mungkin Damian ada di sana, pikir Isabell. Namun langkahnya terhenti saat Nyonya Devardo dan Pedra menghamprinya.
"Pagi, Isabell. Bagaimana tidurmu? Kurasa kau merasa nyaman di sini," ucap Nyonya Devardo dengan wajah cerahnya memandangi Isabell.
"Pagi, Bu," jawab Isabell singkat karena dia sedang fokus mencari Damian yang belum juga tertangkap oleh matanya.
Pedra tersenyum sinis memandangi penampilan Isabell yang menurutnya berlebihan.
"Aku yakin, Bu. Semalam pasti Isabell tak bisa tidur," ucapnya.
Nyonya Devardo dan Isabell terpengarah.
Pedra melanjutkan, "Kau pasti menghabiskan malam yang panas dengan Damian, kan? Lihat saja, rambutmu saja masih tampak basah begitu," ucapnya dengan sinis.
Nyonya Devardo mengulum senyumnya lalu tertawa kecil, sedangkan Isabell tampak terdiam kesal dengan pipinya yang merona merah.
Dasar sinting! Untuk apa dia mengatakan hal itu? Bathin Isabell. Ucapan Pedra memang benar, dirinya hanya bisa tidur pukul tiga pagi setelah membuat Damian puas di atas ranjang semalam.
Namun tak seharusnya Pedra mengatakan hal memalukan seperti itu. Apakah sebagai seorang istri, Berto tak pernah menyentuhnya? Isabell meradang dalam hati.
"Ah, sudahlah Pedra. Jangan menggoda Isabell. Mereka baru saja menikah, jadi wajar-wajar saja." Nyonya Devardo menghentikan tawanya lalu matanya memandangi Isabell. Matanya membulat mendapati kalung berlian Isabell sudah tak nampak lagi pada leher jenjang gadis itu.
"Isabell, dimana perhiasanmu? Kenapa kau tidak mengenakannya?" tanyanya tampak antusias.
"Aku menyimpannya dengan perhiasanku yang lain," jawab Isabell acuh.
Nyonya Devardo dan Pedra saling pandang lalu tersenyum penuh misteri.
"Isabell, bagaimana bila Ibu saja yang menyimpan semua perhiasanmu, Nak? Di sini banyak pelayan yang bisa saja mencuri perhiasan itu di kamarmu," tawaran Nyonya Devardo langsung membuat Isabell menatapnya dengan kedua alisnya yang nyaris saja menyatu.
"Apa maksudmu? Aku bisa menyimpan perhiasanku sendiri," balas Isabell mulai jengah pada wanita 50 tahun di depannya itu.
Nyonya Devardo dan Pedra saling pandang sambil tersenyum tipis.
"Isabell, bila kau tinggal di Devardo House, maka kau harus menuruti semua perintahku. Cepat berikan perhiasanmu itu padaku." Nyonya Devardo menegaskan lagi.
Isabell menatapnya dengan mulutnya yang mengangah.
"Kenapa kau memaksa? Aku tak akan memberikan perhiasanku kepada siapa pun!" pungkas Isabell dan segera memutar tubuhnya untuk pergi.
"Wah, lihatlah Bu. Gadis seperti apa yang telah Damian nikahi ini. Dia seperti Jalang yang biasa duduk di bar untuk menanti pelanggannya," cibir Pedra menghentikan langkah Isabell.
Gadis itu menoleh dengan wajahnya yang tampak marah. Tentu saja Isabell merasa tersinggung.
"Kau benar, Sayang. Dia memang Jalang yang tak tahu sopan santun!" timpal Nyonya Devardo.
Mereka memberikan tatapan jijik pada Isabell. Akibatnya Isabell menjadi murka. Gadis itu segera menghampiri keduanya, tangannya terulur dan langsung menjambak rambut kecokelatan Pedra.
"Apa katamu? Beraninya kau berkata seperti itu tentangku!" pekik Isabell dengan emosinya.
"Lepaskan, Jalang sialan!" Pedra mengerang.
Nyonya Devardo berusaha melerai pertingkaian keduanya.
"Isabell, Ibu, ada apa ini?" suara Damian menghentikan mereka.
Isabell melepaskan Pedra dengan kasar, hal itu membuat Damian sangat terkejut melihatnya. Suasana hening sejenak. Nyonya Devardo terhuyung-huyung menghampiri Damian yang sedang berdiri agak jauh dari mereka.
"Damian Sayang, Isabell telah marah pada Ibu karena Ibu menawarkan diri untuk menyimpan semua perhiasannya. Pedra mencoba menasehati Isabell, namun dengan teganya istrimu itu menyakiti kami berdua," ucap Nyonya Devardo penuh penghayatan agar sandiwaranya terlihat sempurna.
Damian menatap Isabell penuh tanya sedangkan Isabell hanya menggelengkan kepalanya, dia tak menyangka Ibu mertuanya itu begitu pandai berakting.
Pedra tak tinggal diam, dia segera menghampiri Nyonya Devardo dan Damian dengan wajah sedihnya yang dibuat-buat. Keduanya bersandiwara dengan sangat bagus.
"Sudahlah, Bu. Damian tak akan percaya pada kita, lagi pula mansion ini adalah miliknya. Lebih baik kita pergi saja sekarang," ucap Pedra sambil merangkul bahu Nyonya Devardo yang sedang bersandar pada dada bidang Damian.
Isabell menatap Damian dengan wajah melasnya, dia tak bersalah. Namun Damian memberinya tatapan penuh kemarahan.
"Isabell, apa benar yang dikatakan Ibuku dan Kak Pedra?" tanya Damian sedikit menekan.
Isabell menggelengkan kepalanya dengan sepasang matanya yang mulai berkaca-kaca.
"Sudahlah, Damian. Ibu tak ingin kau dan istrimu bertengkar karena Ibu.
Apalah artinya wanita tua ini di hadapan kalian, kami hanya menumpang padamu, Nak." Nyonya Devardo menitikan air mata buayanya.
"Tidak, Bu. Jangan berkata seperti itu, kalian adalah keluargaku satu-satunya," ucapan Damian sambil merangkul punggung ibunya.
Isabell sangat jengah melihatnya. Apa lagi wajah-wajah dua wanita itu yang menyebalkan.
"Isabell, cepat lakukan perintah Ibu. Berikan perhiasanmu padanya. Biarkan Ibu yang menyimpannya," perintah Damian sambil menatap Isabell yang berdiri agak jauh darinya.
Wanita itu menggelengkan kepalanya, dia sangat kesal. Kenapa Damian termakan oleh drama Ibu tirinya itu.
"Aku tak mau! Dan aku tak akan pernah menyerahkan perhiasanku kepada siapa pun!" pungkas Isabell segera pergi dengan wajah kesalnya dan kecewanya pada Damian.
Leher Damian memutar mengikuti langkah Isabell yang mulai menaiki anak tangga.
"Damian, bujuklah Isabell. Jangan hiraukan Ibu, Nak," ucap Nyonya Devardo sambil menanggah pada Damian.
Pria itu pun mengangguk. Dia segera melepaskan ibunya dan bergegas menyusul Isabell ke kamarnya. Nyonya Devardo segera menyeka kedua pipinya lalu tersenyum puas pada Pedra.
"Lihat saja, sebentar lagi pasti Isabell akan menyerahkan semua perhiasannya kepada kita," ucapnya.
"Kau sangat cerdik, Bu. Aktingmu sangat bagus, kau pantas menerima piala Oscar tahun ini." Pedra menimpali sambil merangkul bahu Nyonya Devardo, kemudian keduanya tertawa penuh kemenangan.
HMT 3 - DRAMA IBU MERTUA
Damian tiba di depan pintu kamarnya yang masih terbuka lebar, mungkin Isabell memasuki kamar itu dengan emosi dan lupa menutup pintunya kembali. Langkah pantofel Damian terayun cepat memasuki kamar seluas ruang meting di kantornya itu.
Sepasang netranya mulai memindai seisi ruangan dan mendapati Isabell yang sedang duduk di tepi ranjang. Wajahnya di tekuk dengan punggungnya yang tampak bergetar. Damian segera menghampirinya dengan cemas.
"Isabell, kau menangis?" tanya Damian sambil berjongkok di depan gadis yang sangat di cintainya itu. Pendar matanya menatap sendu pada wajah Isabell yang tertunduk dan dibasahi bulir air matanya.
"Untuk apa kau menemuiku? Urusi saja Ibumu dan Kakakmu yang pandai bersandiwara itu," cetus Isabell dengan pendar matanya yang penuh kemarahan.
Damian menggelengkan kepalanya kemudian dia meraih sehelai tisue dari meja nakas, lantas digunakannya untuk menyeka kedua pipi istrinya yang basah. Namun dengan cepat Isabell menepis tangannya.
"Hentikan, Damian. Aku tak ingin di kasihani olehmu!" tegas Isabell. Gadis itu memalingkan wajahnya dari sorot mata Damian yang sedang menatapnya.
"Isabell, maafkan aku. Aku hanya ingin kau bisa beradaptasi dengan keluargaku. Dan Ibu hanya ingin menjaga perhiasanmu saja. Apa yang salah?" ucapan Damian mendapat pandangan tajam dari Isabell.
"Apa yang salah katamu? Mereka bukannya mau menjaga perhiasanku, tapi mereka menginginkannya. Kenapa kau sangat bodoh, Damian!" Isabell tersulut emosi.
Damian menjulurkan jemarinya untuk mengusap pipi licin istrinya itu, namun lagi-lagi Isabell menepisnya. Dia seolah sangat jijik dengan sentuhannya kali ini.
"Jangan berburuk sangka pada Ibu dan Kakakku, Isabell. Mereka pun memiliki uang yang cukup bila hanya untuk membeli perhiasan. Kau sudah salah paham pada mereka. Bahkan kau melukai Kak Pedra dan hati Ibuku," tukas Damian yang masih berjongkok di depan Isabell.
Gadis itu menanggah ke langit-langit agar air matanya tak mudah terjatuh. Tampaknya Damian sudah termakan oleh sandiwara dua wanita sialan itu, pikir Isabell.
"Aku mohon padamu, Isabell. Menurutlah pada Ibuku, aku tak ingin melihat kalian ribut-ribut lagi hanya karena perhiasan. Aku bisa membelikanmu banyak perhiasan, bukan?" lanjut Damian kali ini jemarinya mulai meraih jemari Isabell yang ada di depannya.
Dikecupnya lembut jemari itu dengan penuh cinta.
Isabell menghela napas, emosinya masih belum stabil.
"Hentikan, Damian. Aku tak akan memberikan perhiasanku kepada siapa pun!" pungkas Isabell, dia segera bangkit dari duduknya di susul oleh Damian yang menatapnya kesal. Dua orang yang sudah saling mengenal selama tiga tahun itu kini berubah seperti orang asing.
"Isabell, menurutlah padaku dan serahkan perhiasanmu pada Ibu!" perintah Damian dengan pendar matanya yang mulai tersulut emosi.
Isabell bersidekap di depannya, wajahnya mendongkak pada pria yang jauh lebih tinggi darinya itu.
"Aku tak mau!" tegas Isabell dan segera memutar tubuhnya hendak pergi. Namun Damian mencekal lengannya dan menariknya sampai tubuh sintal wanita itu memutar menghadap padanya.
"Jangan membuatku marah, Isabell!" bentak Damian dengan wajahnya yang mulai merah padam.
Isabell sangat tersentak, dia tak pernah melihat Damian semarah ini sebelumnya.
"Lepaskan, Damian! Aku muak padamu!" Isabell berusaha berontak dari cengkeraman tangan kekar suaminya itu. Namun dia kesulitan karena Damian semakin mempererat genggamnya.
"Lepaskan! Kau sudah gila, Damian! Kau gila karena Ibumu yang sinting itu!"
"ISABELL!"
Tubuh keduanya sudah sama-sama dirasuk emosi. Damian yang sebelumnya tak pernah berkata lantang apa lagi sampai membentak Isabell, tapi hari ini dia sampai berani mengangkat tangannya.
Isabell menatapnya dengan matanya yang berkaca-kaca. Hatinya terasa sangat perih karena bentakkan suaminya itu. Begitu pula dengan Damian, dia segera melepaskan Isabell dan menurunkan tangannya. Penyesalan sangat terlihat jelas pada rahut wajahnya yang tampan.
"Isabell," ucapnya pelan dengan kedua tangannya menyentuh masing-masing bahu mungil istrinya itu dan menatapnya lembut.
Isabell menggelengkan kepalanya dengan tangisnya yang terpecah.
"Cukup, Damian. Cukup," ucapnya lirih. Dia segera mengusap kedua pipinya dan hendak berlalu, namun kedua tangan kekar Damian segera mendekapnya dari belakang. Isabell bergetar hebat, emosinya mengguncang seluruh jiwanya saat ini.
"Maafkan aku, Isabell. Aku sangat menyesal telah melukai hatimu, Sayang. Maafkan aku," sesal Damian sembari mendaratkan kecupannya pada bahu terbuka Isabell.
Wanita itu memejamkan matanya menahan gejolak yang ada. Dia tak tak tahu harus apa. Damian memutar tubuh ramping Isabell agar menghadap padanya. Dipandanginya wajah istrinya itu yang tampak basah di kedua pipinya. Tangannya terayun menyapunya lembut.
"Maafkan aku, Isabell."
Isabell mengangguk pelan, dan Damian segera merengkuhnya dalam pelukannya. Dia merutuki dirinya sendiri karena telah membuat wanita yang sangat ia cintai itu sampai menangis. Isabell mempererat pelukannya. Jiwanya serasa terisi kembali dan memperoleh kedamaian lagi.
***
Nyonya Devardo sedang duduk di ruang santai bersama Pedra dan Berto. Dia tampak sedang menikmati batang rokoknya sambil bebincang-bincang dengan anak dan menantunya yang sedang menikmati tequila.
Mata Nyonya Devardo menatap jeli pada Damian dan Isabell yang sedang berjalan menuju pada mereka. Dia menghembuskan asap rokoknya ke udara lalu tersenyum miring melihat kotak perhiasan yang sedang dibawa oleh Isabell.
Kotak perhiasan yang terbuat dari kayu pinus dengan sentuhan ukiran berwarna gold yang indah. Kotak kayu itu terlalu besar jika untuk ukuran kotak perhiasan saja. Waw, ternyata perhiasan Isabell memang sangat banyak, pikirnya.
Pedra menoleh pada Nyonya Devardo sambil tersenyum puas. Dugaan mereka tidak meleset, Damian berhasil membujuk Isabell.
Sedangkan Berto tampak meliarkan pandangan lelakinya pada Isabell yang tampak sangat seksi di pelupuk matanya, bibirnya mengulas senyum smirk saat tepi gaun wanita itu melambai tertiup angin. Seksi sekali, dia menelan ludah kasar melihatnya.
"Ibu, Isabell akan menyerahkan seluruh perhiasannya padamu," ucap Damian pada Nyonya Devardo lalu menoleh pada Isabell yang berdiri di sampingnya.
Gadis itu memasang wajah datarnya.
"Maafkan aku, Bu. Tolong simpan semua perhiasanku," tukas Isabell tampak terpaksa.
Nyonya Devardo tersenyum senang dan segera bangkit dari sofa. Dia menaruh batang rokoknya lebih dulu di atas meja sebelum meraih kotak perhiasan yang disodorkan oleh Isabell padanya.
"Oh, Isabell sayangku. Aku sangat terkesan atas perlakuanmu kali ini. Aku akan menjaga perhiasanmu ini dengan baik. Benarkan, Pedra?" Nyonya Devardo berkata pada Isabell lalu menoleh pada Pedra yang sedang duduk bersama Berto. Keduanya pun berdiri
"Tentu saja, Bu. Lagi pula Isabell adalah menantu bungsu di keluarga kita ini. Sudah menjadi kewajiban kita untuk menjaganya, terutama hartanya." Pedra berkata sambil tersenyum menyebalkan dimata Isabell.
Berto hanya tersenyum tipis sambil memandangi Isabell.
"Baiklah, aku akan segera berangkat ke kantor. Tolong kalian jaga Isabell," ucap Damian sambil mengusap pacuk kepala Isabell ke bawah.
"Tentu saja, Tampan. Ibu dan Pedra pasti akan menjaga Isabell dengan baik," balas Nyonya Devardo sambil menatap Damian dan Isabell secara bergantian.
Isabell hanya memutar bola matanya, jengah.
"Baiklah, aku berangkat, Sayang." Damian meraih kepala Isabell lantas mengecup pucuknya dengan penuh cinta.
Isabell hanya mengangguk sembari tersenyum tipis. Damian pun segera pergi. Isabell bergegas ingin kembali ke kamarnya.
"Tunggu, Isabell!" sergah Pedra menghentikan langkah Isabell yang baru saja akan menaiki anak tangga.
Wanita itu memutar tubuhnya menghadap pada tiga orang yang sangat menyebalkan baginya itu.
"Apa lagi? Apa masih kurang semua perhiasanku itu? Puas kalian sekarang, hah?!" Isabell bersidekap sambil mendongkak dengan wajah sinisnya.
Nyonya Devardo dan Pedra saling pandang lalu tersenyum puas. Sedangkan Berto hanya menggelengkan kepalanya tak mengerti.
"Tentu saja masih kurang. Kau juga harus menyerahkan semua kartu black gold milikmu pada kami," jawab Pedra sambil berjalan-jalan kecil mengitari Isabell.
"Apa? Kalian sudah tidak waras. Aku tak akan memberikannya! Dasar sinting!" Isabell tak sudi lagi berpandangan dengan orang-orang culas itu, dia pun segera berlalu menaiki anak tangga.
Pedra yang kesal ingin segera menyusulnya.
"Sudahlah, Pedra. Biarkan dia pergi. Kita nikmati saja dulu perhiasan indah ini, barulah setelah itu kita rampas semua kartu black gold gadis sombong itu. Mengerti?" ucap Nyonya Devardo sambil memilin semua perhiasan yang ada di kotak kayu milik Isabell tadi.
HMT 4 - SIAPA VANESSA
Pagi itu Isabell masih berada di kamarnya. Karena insiden perhiasan kemarin dia menjadi malas untuk berbaur dengan penghuni Devardo House lainnya.
Wajar saja, Nyonya Devardo sudah menyita semua perhiasannya. Bahkan berlian turun temurun dari keluarganya di ambil pula oleh wanita tua itu.
Hh, sepertinya Isabell mulai merasa tak nyaman tinggal di rumah suaminya itu. Terlebih Fernando justru lebih memihak pada ibu dan kakak tirinya itu daripada dirinya.
"Menyebalkan!" Isabell bangkit dari tepi ranjang yang ia duduki. Tungkai jenjangnya berjalan menuju jendela yang berseberangan dengan tempat tidurnya. Dipandanginya beberapa orang pelayan yang sedang memetik bunga di taman.
"Isabell." Damian yang baru memasuki kamar segera memanggilnya dengan membawa wajah cemas dan heran.
Isabell yang sedang bersidekap di tepi jendela hanya menoleh.
"Sayang, kenapa kau masih di sini? Ibu dan Kak Pedra sedang menunggumu di ruang makan untuk sarapan," ucap Damian sembari berjalan mendekat pada wanita dengan dress selutut tali kecil motif bunga di sana.
Isabell memutar tubuhnya kembali memandangi luar jendela.
"Aku tak ingin turun untuk sarapan. Aku tak lapar," tukas Isabell terdengar abai dan sedikit emosi.
Damian segera mendekapnya dari belakang. Kedua tangannya di biarkan melingkar pada pinggang ramping istrinya itu, membuat Isabell sedikit terperanjak
"Isabell, apakah kau masih marah pada Ibu dan Kak Pedra?" bisik Damian lalu mengecup bahu wanita itu dengan lembut.
Isabell memejamkan matanya menahan gejolak yang ada. Antara rasa kesalnya pada Nyonya Devardo dan rasa cintanya pada Damian. Keduanya terasa imbang dan sulit untuk di bedakan.
"Isabell, aku minta maaf padamu. Tolong maafkan Ibuku dan lupakanlah semuanya," lanjut Damian.
Kedua tangannya memegang kedua bahu Isabell, lantas memutar tubuh istrinya itu agar menghadap padanya. Isabell berbalik sembari memalingkan wajahnya ke lain arah. Dia tak ingin bertemu pandang dengan sepasang manik karamel Damian. Dia takut tak bisa menolaknya, apa pun permintaan suaminya itu.
"Isabell, lihat diriku." Damian menatap Isabell dengan lembut, namun istrinya itu seperti tak mau menatapnya. Dia pun mengangkat dagu Isabell dengan telunjuknya. Isabell masih terdiam dan tak ingin menatap pendar matanya yang dipenuhi kecemasan.
"Hentikan, Damian!" Isabell menepis tangan pria itu darinya. Namun Damian kembali dengan menangkup wajah Isabell menggunakan kedua telapak tangannya.
Mau tak mau Isabell pun menatapnya. Pendar matanya sangat jenuh dan lelah. Damian dapat membaca isi hatinya dari sana.
"Aku minta maaf karena sudah membuatmu sedih. Tetapi aku mohon Isabell, jangan seperti ini. Ayo kita turun dan sarapan. Setelah itu aku akan mengajakmu untuk membeli perhiasan, seberapa banyak yang kau inginkan." Damian menunjukan wajah penuh penyesalan.
Namun Isabell hanya menggelengkan kepalanya. Kenapa Damian tak juga peka padanya, pikirnya kesal.
"Damian, apakah perhiasan yang akan kau belikan itu dapat mengobati rasa sakitku?" Isabell menatapnya dengan manik yang sudah berkabut. Ada air mata yang ingin segera ia tumpahkan. Damian menatapnya dalam-dalam.
"Kau pikir aku akan baik-baik saja setelah kau belikan perhiasan yang baru untukku? Tidak, Damian. Masalahnya bukan ada pada perhiasan yang mereka rampas dariku, tapi kau. Kau yang menjadi masalahnya," lanjut Isabell kemudian menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya dengan bahunya yang bergetar hebat.
Damian segera meraih kedua bahu mungil itu ke dalam pelukannya.
"Jangan menangis, Isabell. Kumohon," lirih Damian semakin erat merengkuh tubuh wanitanya.
Isabell mendongkak padanya lalu berkata, "Kenapa kau tak percaya padaku? Mereka menghinaku, mengatakan hal buruk tentang diriku. Tapi kau tetap membela mereka, dan memintaku untuk mengalah pada mereka. Aku tak ingin berada di sini. Aku ingin pulang, Damian." Isabell memukul-mukul dada bidang suaminya itu dengan tangisnya yang menjadi-jadi.
"Dengar, Isabell. Aku tidak membela siapa pun. Kau istriku dan mereka adalah keluargaku. Aku mencintai kalian semua. Tolong jangan membuatku berada pada posisi yang sulit." Damian melepaskan pelukannya dan memegang kedua bahu Isabell sembari menatapnya penuh cinta.
"Aku sangat mencintaimu, Isabell. Kau segalanya bagiku, namun Ibuku dan Kak Pedra adalah tanggung jawabku juga. Aku mohon kau bisa mengerti." Damian kembali menarik Isabell ke dalam pelukannya.
Isabell membalas pelukan itu dengan membenamkan wajahnya pada dada bidang Damian. Dia merasakan ada kegelisahan yang besar di dalam hati suaminya, debaran jantungnya menegaskan segalanya. Kedua tangan Isabell merengkuh punggung Damian sangat erat. Tentram dan damai ia rasakan. Hatinya mulai merasa tenang.
***
Sementara itu di ruang makan yang ada di lantai dasar Devardo House. Tampak Silvester sedang melayani Nyonya Devardo, Pedra, dan Berto yang sedang menikmati sarapannya.
Silvester adalah pria berusia 47 tahun yang mendedikasikan dirinya untuk melayani keluarga Devardo setelah ayahnya yang lebih dulu menjadi juru masak di keluarga Devardo menutup usia.
Pria dengan postur tubuh tunggi dan sedikit gemuk itu sangat pandai membuat masakan. Tentu saja Silvester banyak belajar dari ayahnya. Dia sangat paham dengan selera dan makanan apa saja yang disukai oleh semua penghuni Devardo House.
"Dimana jalang itu? Aku tak melihatnya pagi ini," ucap Pedra sembari memegang sendok dan garpu yang baru saja Silvester berikan padanya.
"Mungkin dia marah pada kita dan tak berani turun dari kamarnya," jawab Nyonya Devardo sembari tersenyum tipis.
Pedra menaikan kedua alisnya sembari tersenyum miring.
"Baguslah. Kita harus membuatnya tertindas di sini, Bu. Atau kita yang akan tertindas olehnya," cetus Pedra sambil membulatkan matanya pada Nyonya Devardo.
"Kau benar, Sayang. Aku takkan membiarkan Isabell mengendalikan Damian. Putera Armando Devardo itu adalah pionku. Aku yang memegang seluruh kendalinya," tegas Nyonya Devardo.
"Tapi, Bu. Kenapa kita tidak bunuh saja Damian? Aku sangat muak padanya dan selalu meminta uang padanya. Jika Damian meninggal pasti akan lebih baik karena kita memiliki seluruh hartanya, bukan?" Pedra meraih gelas air putihnya dan segera menyesapnya sampai setengah tandas.
"Bodoh. Bila Damian meninggal lantas siapa yang akan mengurus kantor? Kau dan Berto sama sekali tak bisa diandalkan." Nyonya Devardo mencibir lalu mulai menikmati hidangan di meja.
Pedra menoleh pada Berto, dan suaminya itu hanya menaikan kedua bahunya dengan wajah bodohnya.
"Maksud Ibu, aku dan Berto tidak becus mengurus kantor, begitu?" Pedra memasang wajah kesalnya sembari menatap tegas pada Nyonya Devardo.
"Ya. Kalian payah dan tidak bisa diandalkan. Kantor besar itu membutuhkan kejeniusan Damian. Jadi biarkan saja dia tetap hidup dan menghasilkan uang untuk kita." Nyonya Devardo tersenyum licik sambil menatap Pedra.
Wanita itu membalasnya dengan senyuman licik pula.
"Wah hebat, Bu. Kau membuat Damian seperti seekor keledai yang harus terus bekerja untuk kita sampai dia mati," ucap Pedra lalu tertawa sambil menepuk bahu Berto yang duduk di sampingnya.
Pria itu menjadi tersedak akibat ulahnya.
Nyonya Devardo pun ikut tertawa dengan puasnya sampai akhirnya sepasang matanya mendapati Damian dan Isabell yang baru saja menuruni anak tangga. Keduanya sedang menuju pada mereka.
"Sssttt ... hentikan suaramu, Pedra." Nyonya Devardo menaruh telunjuknya di bibirnya sambil menatap Pedra dengan tajam. Puterinya itu segera menghentikan tawanya dan menikmati sarapannya dengan santai.
"Pagi, Bu." Damian mengecup pucuk kepala Nyonya Devardo yang sedang duduk sambil tersenyum menyambutnya.
"Pagi, Tampan. Ayo duduklah, ajak Isabell untuk sarapan," ucapnya terdengar sangat manis.
Isabell memutar bola matanya jengah. Dasar ratu drama! Rutuknya dalam hati.
Damian mengangguk dan segera menggiring Isabell untuk duduk berseberangan dengan Pedra dan Berto. Keduanya tersenyum manis pada mereka, namun Isabell segera memalingkan wajahnya, lantas mendaratkan bokongnya pada bangku di samping Damian.
"Damian, apa kau masih ingat dengan Vanessa?" Nyonya Devardo membuka perbincangan sambil menoleh pada pria tampan yang duduk di sebelah kirinya.
"Vanessa puterinya Paman Nigel?" Damian berbalik bertanya.
Isabell dan yang lain hanya menyimak sembari menikmati hidangan di meja.
"Ya. Vanessa telah kembali setelah sepuluh tahun berada di Spanyol.
Dan dia terus meneleponku untuk menanyakanmu, Damian." Nyonya Devardo mengatakannya dengan penuh semangat dan tampak sangat senang.
Isabell mulai menaruh curiga dengan arah perbincangan ini. Wanita beracun itu pasti sedang merencanakan sesuatu, pikirnya.
"Maksud Ibu? Untuk apa dia menanyakanku?" Damian tampak acuh sembari menikmati sarapannya bersama Isabell.
Nyonya Devardo tersenyum miring lantas berkata, "Tentu saja Vanessa masih mencintaimu, dan dia ingin bertemu denganmu lagi, Damian."
Isabell sampai terbatuk-batuk mendengar ucapan Nyonya Devardo barusan. Dia menoleh dengan tatapan tajam yang dipenuhi tanda tanya pada Damian.
Ada hubungan apa Damian dengan gadis bernama Vanessa itu? Isabell sungguh penasaran. Dan rasa penasarannya itu bisa saja membakar seluruh Devardo House saat ini juga.
HMT 5 - TAMU TAK DIUNDANG
Isabell masih menatap Damian, jawaban pria itu sangat ia butuhkan. Damian mengulurkan tangannya dan mengusap pucuk kepala sampai ujung rambut Isabell yang berbau wangi bunga lavender. Dia cukup peka kali ini, dia mengerti apa yang ada di benak istrinya itu saat ini.
"Vanessa hanya teman masa kecilku. Ya, kami sangat dekat sewaktu kecil karena ayahnya yaitu Paman Nigel adalah teman baik Ayahku," ucap Damian sambil tersenyum gemas pada Isabell yang sedang terbakar api cemburu.
Isabell mengulas senyum lalu meneruskan sarapannya. Damian sangat lega.
Untung saja dia bisa bersikap tenang di depan Isabell. Dia tahu persis, istrinya itu sangatlah cemburuan. Seperti kejadian beberapa waktu lalu saat dirinya dan Isabell baru bertunangan. Damian pernah datang ke lokasi pemotretan Isabell dan di sana ada seorang model wanita yang datang menghampirinya.
Tak ada yang Damian lakukan dengan wanita itu, mereka hanya berbincang-bincang saja. Namun ternyata hal itu membuat Isabell sangat marah. Bahkan Isabell sampai menyerang model itu dengan emosinya. Bukan hanya itu, Damian sampai mati-matian membujuk Isabell kemudian.
Sejak itu Damian tak mau lagi mencari masalah dengan melakukan sesuatu yang bisa memicu kecemburuan Isabell. Namun hal itu tidak membuatnya merasa terkekam atau sebagainya, justru dirinya semakin mencintai Isabell, dan merasa sangat dicintai olehnya pula.
"Hanya teman kecil? Ho, apakah kau lupa, Damian. Jika kau dan Vanessa pernah menjalin hubungan cinta sewaktu kalian masih duduk di bangku SMU. Bahkan kalian pernah bermalam bersama di peternakan Ayah, bukan?" Pedra tiba-tiba menyela dengan niatnya untuk memanas-manasi hati Isabell.
Mendengar hal itu Isabell sangat kaget dan langsung menoleh tegas pada Damian. Dan pria itu segera menggelengkan kepalanya.
"Kak Pedra, apa yang kau bicarakan? Aku dan Vanessa hanya berteman, dan hubungan yang pernah kami jalani hanya ikatan yang terjalin karena persahabatan saja," jelas Damian yang mulai cemas jika Isabell termakan oleh ucapan kakak tirinya itu.
"Oh, iya?" cibir Pedra sambil tersenyum remeh dan kembali menikmati sarapannya.
"Ya," pungkas Damian kemudian beralih pada Isabell,"aku dan Vanessa hanya teman kecil, tak lebih. Percayalah, Isabell." Damian meraih jemari Isabell yang ada di meja lantas mengecupnya lembut. Namun Isabell tak mudah percaya begitu saja. Itu dapat dilihat Damian dari pendar mata istrinya itu.
"Ya, kalian memang hanya teman kecil. Namun Vanessa sangat mengharapkanmu, Damian." Nyonya Devardo mulai memantik api lagi. Damian menatapnya bosan lantas berkata, "Hentikan, Bu. Kumohon,"
Nyonya Devardo mengangguk sambil tersenyum tipis. Dia kembali menikmati sarapannya. Pedra tersenyum sinis menatap Isabell yang sedang dibujuk oleh Damian.
Pria itu tampak sangat memanjakan istrinya itu. Pedra sangat muak melihatnya. Pagi ini rencananya sudah gagal, tapi mungkin dia bisa mencobanya lagi, pikirnya sembari menaikan sudut bibirnya.
"Pagi, semuanya." suara seorang wanita mengagetkan semuanya.
Damian yang menoleh lebih dulu sampai membulatkan pupil netranya mengetahui siapa yang datang. Sedangkan Isabell hanya mengamati wanita yang sedang memasang senyumnya sembari berjalan menuju meja makan. Semuanya pun berdiri.
"Vanessa? Astaga. Aku sangat senang kau datang ke Devardo House." Nyonya Devardo segera lengser dari kursinya dan segera menghampiri wanita yang bernama Vanessa itu.
"Astaga, Vanessa! Kau sangat cantik sekarang!" Pedra yang tak ingin ketinggalan segera menyusul Nyonya Devardo untuk menghampiri Vanessa. Hanya Isabell yang masih terdiam lalu menoleh pada Damian. Pendar matanya dipenuhi tanda tanya yang menyudutkan suaminya itu. Namun Damian hanya memberinya sebuah senyuman manis.
"Damian, ayo kemarilah, Nak. Vanessa pasti sangat ingin bertemu denganmu, Sayang!" Nyonya Devardo menoleh pada Damian setelah melepaskan pelukannya dari Vanessa.
Isabell sangat jengah mendengar suara manis Ibu mertuanya itu. Dasar sinting! Rutuknya dalam hati.
"Hai, Vanessa. Apa kabar?" Damian menyapa Vanessa dengan sedikit senyuman.
Isabell segera mendekat pada suaminya itu dan segera meremas jemari kirinya dengan erat. Damian hanya menoleh sembari memberinya senyuman gemas.
"Damian, kabarku baik. Bagaimana denganmu? Apa kau bahagia setelah menikahi seorang model majalah dewasa?" Vanessa berkata sambil berdiri di depan Damian dan Isabell. Netranya menatap jijik pada wanita cantik di hadapannya.
"Apa maksudmu?" Isabell yang merasa tersinggung segera naik pitam.
Vanessa hanya tersenyum sinis menanggapinya.
"Bukan apa-apa? Selamat atas pernikahan kalian. Aku hanya kasihan pada Damian saja. Apa yang dia dapatkan dengan menikahi seorang model sepertimu. Ya, kau memang cantik dan menarik, bahkan menggairahkan. Itu yang kudengar dari mulut para pria yang membicarakan dirimu di night club." Vanessa mengatakannya dengan lugas, tanpa takut sedikit pun.
Dia sengaja ingin memancing emosi Isabell di depan Damian dengan cara merendahkannya. Walaupun dirinya mengerahui jika Isabell adalah seorang Nona Muda dari keluarga yang terhormat.
Dia bisa saja terjerat masalah besar karena lisannya barusan. Namun rasa kesalnya karena gagal mendapatkan Fernando telah membuatnya kalap dan tak perduli dengan apa pun lagi.
"Tutup mulutmu, Vanessa!" Damian yang sangat murka mendengar ocehan Vanessa tadi segera memasang emosinya. Wajah tampannya memerah padam dengan bola matanya yang tajam seolah ingin menelan Vanessa hidup-hidup. Sedangkan Isabell pun tak kalah kesalnya.
"Waw, lihatlah. Kau sangat marah, Damian. Padahal aku hanya bercanda saja," ucap Vanessa sembari tertawa kecil, dia mencoba meralat ucapannya tadi. Namun sepertinya Damian sudah terlanjur kesal.
"Aku tak suka ada yang bicara buruk tentang Isabell. Dan bila itu kau lakukan lagi, aku tak segan-segan menampar wajahmu itu," balas Damian masih dengan wajah kesalnya.
Vanessa hanya memutar bola matanya lalu menoleh pada Nyonya Devardo dan Pedra yang memberinya senyuman kagum.
"Ayo, Isabell." Damian segera meraih lengan Isabell dan mengajaknya meninggalkan ruang makan.
Vanessa hanya terdiam sembari memandangi kepergian mereka. Nyonya Devardo dan Pedra segera menghampirinya
"Wah, wah, kau sangat hebat, Vanessa!" Nyonya Devardo berkata setelah tungkainya berdiri sejajar dengan Vanessa.
"Benar, kau berhasil membuat gadis sombong itu terdiam bagai orang bodoh," timpal Pedra sembari merangkul bahu Vanessa dan menatapnya kagum.
Vanessa hanya tersenyum tipis lantas berkata, "Seekor berang berang saja bisa menerkam seekor chetah jika mangsanya telah dicuri. Apa lagi seekor singa sepertiku."
"Waw, ungkapan yang sangat bagus sekali. Benarkan, Sayangku?" Pedra tersenyum kagum pada Vanessa kemudian menepuk bahu Berto yang baru saja berdiri di sampingnya.
Pria itu hanya mengerutkan dahinya tanda tak mengerti.
"Bagus, Vanessa. Kau harus memenangkan hati Damian agar dia segera meninggalkan Isabell. Aku hanya ingin Damian memiliki istri yang memiliki visi dan misi yang sama denganku," timpal Nyonya Devardo sembari menghidupkan api rokoknya.
Vanessa tampak memantapkan dirinya karena merasa mendapatkan dukungan.
"Tentu saja, Nyonya Devardo. Sebentar lagi Damian Devardo de Castijo pasti akan bertekuk lutut di hadapanku," ucapnya dengan nada penuh tekad.
Nyonya Devardo dan Pedra saling pandang sambil tersenyum puas. Hanya Berto saja yang kurang paham dengan arah pembicaraan mereka.
Dia hanya menggaruk kepalanya lalu menoleh pada Pedra. Dan Pedra hanya memutar bola matanya bosan. Sial! Pria bodoh Meksiko mana yang telah dia nikahi ini? Dasar bodoh! Rutuknya.
HMT 6 - WANITA LAIN DI KAMAR SUAMIKU
Damian dan Isabell berjalan berdampingan menuju mobil keduanya yang sedang menunggu mereka di depan teras. Hari ini Isabell ada pemotretan, sementara Damian harus berangkat ke kantor seperti biasanya. Jadi keduanya menggunakan mobil yang berbeda.
Damian melepaskan jemari Isabell perlahan sembari menghentikan langkahnya di samping mobil Limousine putih yang akan mengantarkan istrinya itu. Pria itu memandangi wajah Isabell yang sedang menatapnya. Diselipkannya anak-anak rambut Isabell ke telinga kirinya.
Betapa indahnya ciptaan yang Maha Kuasa ini, Damian mengucap syukur memiliki Isabell dalam hidupnya. Begitupun Isabell, dia sangat mencintai Damian sebagaimana semestinya. Keduanya begitu saling menyayangi dan saling mengerti kesibukan masing-masing.
"Hubby, mungkin aku baru akan pulang lusa nanti. Jadwalku sangat padat minggu ini," ucap Isabell sembari menanggah pada Damian yang jauh lebih tinggi darinya.
Pria itu tersenyum manis untuknya.
"Aku mengerti, Sayang. Jagalah dirimu, aku akan selalu menunggumu pulang," balas Damian sembari meraih jemari kanan Isabell, lalu dikecupnya penuh cinta.
Isabell tersenyum senang. Damian sungguh suami idaman, suami yang sangat mengerti dirinya.
"Terima kasih, Hubby. Aku sangat mencintaimu." saking senangnya Isabell segera berjingke dan langsung mencium kilas bibir Damian penuh cinta.
Damian sangat senang, dia segera mencondongkan wajahnya dan mencium bibir Isabell. Kali ini dengan ritme lumatan yang cukup lama.
"Aku akan berangkat, jagalah dirimu. Jangan lupa makan dan tidurlah dengan baik," ucap Isabell pada Damian tanpa melepaskan genggaman tangannya pada lengan kekar suaminya itu
"Tentu, Sayang. Kau juga jangan terlalu kelelahan, ya?" Damian menangkup kedua pipi licin Isabell sembari menatapnya lembut.
Wanita itu mengangguk sembari tersenyum manis.
"Aku sangat mencintaimu, Isabell." Damian kembali meraih ciumannya. Isabell membalasnya penuh cinta.
Pedra dan Nyonya Devardo yang sedang berdiri di tepi balkon tampak jengah menyaksikan adegan romantis itu. Terutama Pedra, tampak sangat jelas pada rahut wajahnya jika dirinya sangat benci akan Damian dan Isabell.
"Ya ampun, romantis sekali," ucap Nyonya Devardo sembari menikmati batang rokoknya.
"Cih! Menjijikan sekali!" Pedra tampak sangat muak.
Nyonya Devardo tersenyum tipis melihatnya.
"Pedra Sayang, apakah Berto tak pernah bisa se-romantis Damian? Aku lihat hubungan kalian tampak begitu hambar. Dan sudah lama kalian menikah, namun tak juga memberiku seorang cucu." Nyonya Devardo menghembuskan asap rokoknya hampir mengenai wajah Pedra.
Wanita itu tampak geram menatapnya.
"Apa maksudmu, Bu? Aku dan Berto baik-baik saja. Dan kenapa aku harus memiliki baby cepat-cepat? Aku bahkan tak bisa membayangkan, betapa repotnya memiliki seorang baby kecil nantinya." Pedra mengibaskan rambut sebahunya sembari memutar tubuhnya membelakangi Nyonya Devardo.
"Ho, baiklah jika kau belum ingin memiliki baby. Namun jangan menyesal jika Isabell nanti lebih dulu memiliki baby." Nyonya Devardo kembali menikmati batang rokoknya sembari menyaksikan mobil Damian dan Isabell melaju meninggalkan Devardo House.
Pedra menoleh dengan tegas pada ibunya itu.
"Apa maksudmu, Bu?" tanyanya kemudian.
Nyonya Devardo menatapnya sembari menjepit batang rokoknya di sela jari telunjuk dan jari tengahnya. Kemudian dia mencondongkan wajahnya pada Pedra.
"Dengar, Pedra Sayang. Jika Damian dan Isabell sampai memiliki seorang anak, lantas bagaimana kehidupan kita selanjutnya."
"Selanjutnya?"
"Ya. Anak Damian itu sudah dipastikan akan menjadi penerus kasta Devardo de Castijo. Dan Isabell pasti akan semakin menindas kita dengan sesukanya. Apa kau mau menjadi pelayan wanita sombong itu, hah?!" Nyonya Devardo berkata ke wajah Pedra dengan tatapan yang sangat menusuknya.
Pedra sampai menelan ludahnya.
"Jangan bodoh seperti suamimu itu, tapi cerdaslah seperti Ibumu ini," pungkas Nyonya Devardo sembari mengayunkan tungkainya meninggalkan balkon dan Pedra yang tampak keheranan.
Apa yang diucapkan ibunya itu ada benarnya juga. Ya, bagaimanapun dirinya dan ibunya hanya menumpang pada Damian di Devardo House ini. Dan bagaimana jadinya jika Damian dan Isabell sampai memilki seorang anak nantinya.
Bisa saja dirinya dan ibunya terusir dari Devardo House. Tidak, ini tak boleh sampai terjadi. Damian dan Isabell tak boleh sampai memiliki keturunan! Pedra menggelengkan kepalanya dengan wajahnya yang tampak pusing.
***
Hari mulai petang saat Damian baru saja menuju kamarnya. Dia menarik knop pintu keemasan itu, lantas mendorongnya masuk. Ruangan itu masih tampak gelap dan sunyi. Tak ada tawa manja Isabell yang biasa menyambutnya. Damian bertepuk tangan, dan lampu-lampu di ruangan luas itu pun menyala dengan sendirinya.
Bibirnya tersenyum pahit. Bayangan Isabell baru saja tersenyum menyambutnya. Astaga, dia sampai barfantasi karena sangat merindukan istrinya itu.
Benar, sudah satu hari lima belas jam dirinya tidak melihat Isabell. Mungkin benar, Isabell hanya akan pulang lusa nanti.
Ah, pasti istrinya itu sangat sibuk dengan pemotretannya sekarang. Damian segera duduk di tepi ranjang dan meraih ponsel dari saku jasnya. 'Isabell Cintaku' nama kontak yang ia tuju untuk dihubungi.
Bibir tipis itu mengulas senyum dan segera mendekatkan ponselnya ke telinga kanannya. Namun yang terdengar hanya suara operator saja. Ah, sial! Ternyata nomer Isabell sedang tak aktif.
Damian menjatuhkan tangannya yang mengenggam ponselnya. Rahut wajahnya tampak lesu, dia melempar ponselnya ke tengah ranjang lalu membuka jas dan dasinya. Dia berbaring dengan perasaan yang sangat gelisah.
"Isabell, aku sangat merindukanmu, Sayang." Damian mulai memejamkan matanya perlahan, berharap dapat berjumpa dengan istrinya itu di alam mimpinya nanti.
Lima belas menit telah berlalu. Damian tampak sudah terlelap di tengah ranjangnya, dengan posisi terlentang tanpa selimut.
Langkah kecil Vanessa berjalan menuju ranjang dimana Damian sedang berbaring. Bibir merah itu mengulas senyum gemas sembari memandangi Damian yang tak menyadari kedatangannya. Wanita itu mulai mendekat, bahkan merangkak naik ke atas ranjang.
"Damian, kau sangat tampan. Aku sangat mencintaimu, dan bisakah kita bercinta malam ini?" Dengan lancang Vanessa menelusupkan jari-jemarinya ke balik kemeja putih Damian. Diusap-usapnya bulu halus yang menghiasi dada bidang pria itu. Vanessa memekik gemas, dia tak tahan lagi.
Perlahan dia mulai memdekatkan wajahnya dan menepelkan pipinya pada dada bidang Damian. Jari-jemarinya mulai menelusup hingga ke bagian bawah pria itu.
Bibirnya berdesah, ia menyentuh sesuatu yang paling sensitif bagi seorang Damian Devardo de Castijo. Gadis itu terus menikmatinya. Membiarkan Damian tetap terlelap dalam rengkuhan gairahnya.
"Damian, aku bisa membuatmu puas lebih dari Model itu. Aku bisa membuatmu terpuaskan, Sayang." Vanessa mendekap Damian dalam pelukannya. Jarinya kini menelusuri gurat wajah pria itu. Membelainya penuh gairah.
Ini kesempatan yang sangat bagus, pikir Vanessa. Damian tertidur begitu pulasnya. Dia bisa menjebaknya sekarang juga. Kesempatan emas ini takkan dirinya sia-siakan begitu saja.
Gadis itu segera melucuti pakaian luarnya. Lantas ia berbaring di samping Damian setelah menarik selimut untuk mereka berdua. Vanessa tersenyum puas. Setelah ini pasti Damian akan menjadi miliknya.
***
Isabell yang baru saja pulang berjalan cepat menuju kamarnya. Dia tahu Damian pasti sedang menunggunya. Isabell sengaja tak memberi kabar pada suaminya, jika dirinya akan pulang malam ini.
Ya, dia ingin memberikan kejutan untuk Damian. Bibirnya mengulas senyum, dia tak sabar ingin bertemu dengan suaminya yang tampan itu.
Langkah kecil Isabell mulai memasuki kamar yang ternyata tampak gelap. Ah, mungkin Damian sudah tertidur pikir Isabell. Dia segera bertepuk tangan untuk menyalakan lampunya. Namun alangkah terkejutnya wanita itu. Dia membulatkan matanya melihat Vanessa yang tengah tertidur dalam pelukan Damian.
Tidak.
Isabell membungkam mulutnya lalu menggelengkan kepalanya tak percaya. Tidak mungkin! Dia tak bisa percaya dengan penglihatan netranya kali ini. Isabell mundur beberapa langkah dengan air matanya yang mulai berjatuhan.
Ini seperti mimpi buruk baginya. Isabell menampar pipinya sendiri, berharap dirinya segera terbangun dari mimpi buruk itu. Namun ternyata ini bukanlah sebuah mimpi. Suaminya telah tidur dengan wanita lain.
HMT 7 - DAMIAN HANYA MILIKKU
Damian mulai terjaga dari tidurnya. Samar-samar telinganya menangkap suara isak tangis seseorang. Entah dirinya sedang bermimpi atau ini kenyataan, dia bergegas membuka matanya.
Suara isak tangis itu terdengar semakin nyata. Damian ingin segera bangkit, namun betapa kagetnya dia saat mendapati Vanessa yang tengah tertidur pulas sembari mendekap tubuhnya dalam selimut. Pria itu cepat-cepat bangit sembari menyingkirkan tangan Vanessa dari tubuhnya.
Belum lagi Damian meredakan rasa kagetnya, dia dikejutkan lagi dengan sosok yang tengah berdiri di seberang tempat peraduannya kini. Sepasang netranya membulat lebar.
"Isabell?" Damian segera loncat dari ranjangnya dan langsung menghampiri Isabell yang tengah menangis menunggu penjelasan darinya.
"Isabell, kau sudah pulang? Kenapa tak mengabariku? Aku pasti akan menjemputmu," tukas Damian sembari memegang kedua bahu mungil Isabell.
Istrinya itu tak menjawab, dia menilik penampilan Damian, terutama kacing kemejanya yang tampak terbuka seluruhnya. Isabell memalingkan wajahnya lalu membungkam mulutnya sembari menangis.
"Isabell, ini tak seperti yang kau kira. Aku tak melakukan apa pun dengan Vanessa. Bahkan aku tak tahu kapan Vanessa datang ke kamar kita. Percayalah, Sayang." Damian mengguncang kedua bahu Isabell sembari menatapnya dalam.
Isabell hanya menggelengkan kepalanya dengan kedua pipinya yang sudah dibanjiri air matanya.
"Aku tak tahu, Damian. Aku tak bisa melihat semua ini!" Isabell memalingkan wajahnya dengan perasaan frustasi.
Damian menggelengkan kepalanya sembari menatap Isabell dengan wajah cemasnya.
"Isabell, percayalah. Aku hanya mencintaimu, Sayang. Aku tak pernah melakukan apa pun dengan Vanessa," ucap Damian penuh tekad untuk meyakinkan Isabell.
"Damian Sayang, dimana kau?" Vanessa mulai terbangun dari tidurnya. Gadis itu tampak berusaha duduk di tengah ranjang sembari memegangi selimut di dadanya.
Sepasang mata Isabell yang basah menatap geram pada Vanessa. Dia segera mengusap kedua pipinya dengan kasar, lantas segera menghampiri wanita itu.
"Jalang keparat! Apa yang kau lakukan di kamar suamiku, hah?! Kubunuh kau!" Tangan putih Isabell segera menjambak rambut panjang Vanessa, lantas menyeretnya dari ranjang.
Tentu saja Vanessa sangat kaget atas perlakukan kasar Isabell padanya. Sedangkan Damian hanya menonton dan tak tahu harus apa.
"Lepaskan aku! Brengsek!" Vanessa mengerang kesakitan sembari berusaha melepaskan cengkeraman tangan Isabell dari rambutnya. Namun Isabell yang sudah tersulut emosi terus menyeret Vanessa dari tempat tidur hingga terjatuh ke lantai.
"Lepaskan, Isabell!" Vanessa terus mengerang kesakitan dengan tubuhnya yang hanya mengenakan pakaian dalamnya saja.
Persetan! Isabell terus menyeretnya dan melempar wanita itu ke luar dari ambang pintu dengan kasar.
"Jalang sialan! Awas saja kau berani mendekati suamiku lagi. Aku tak segan-segan menguliti tubuh kurusmu itu!" Isabell segera memutar tubuhnya dan berjalan cepat menuju tempat tidurnya.
Damian hanya memandangi apa yang sedang istrinya itu lakukan dengan perasaan tak karuan.
Isabell meraup semua pakaian Vanessa yang berserakkan di atas ranjangnya, lantas ia berjalan cepat menuju pintu dimana Vanessa masih duduk di depan ambangnya.
Damian hanya memutar lehernya mengikuti gerak langkah Isabell. Setibanya di ambang pintu Isabell segera melempar semua pakaian Vanessa tepat ke wajah wanita itu.
"Ambil pakaianmu dan pergilah dari sini! Jalang murahan! Beraninya kau menggoda suamiku! Rasakan ini!" Isabell mengangkat tangan kanannya untuk menampar Vanessa.
Namun tangan kekar Damian segera menahannya. Vanessa yang sudah memalingkan wajahnya untuk menghindari tamparan Isabell pada pipinya segera menoleh pada Damian.
"Hentikan, Isabell. Biarkan dia pergi," hardik Damian.
Isabell menurunkan tangannya sembari menatap pria di sampingnya itu dengan tegas. Bahunya naik turun dengan napasnya yang terengah-engah menahan emosi.
"Kau membelanya? Apa benar kau sudah mencicipi tubuhnya? Jawab, Damian!" Isabell membulatkan bola matanya yang memerah pada pria yang sudah menikahinya satu pekan yang lalu itu.
"Tidak, Isabell. Aku tidak sedang membelanya, dan aku tak melakukan apa pun dengannya. Aku hanya tak ingin kau sampai mengotori tanganmu dengan menyentunya. Kau adalah cintaku, aku hanya milikmu saja. Percayalah, Sayang." Damian memegang kedua bahu mungil Isabell sembari menatapnya dengan lembut.
Isabell menghela napas panjang lalu menoleh pada Vanessa yang sedang mengenakan pakaiannya sembari duduk di lantai.
"Pergi kau! Karena kebaikan suamiku kau selamat dariku. Tapi lain kali, aku akan benar-benar membunuhmu, Jalang sialan!" Isabell segera menarik lengan Damian untuk kembali memasuki kamar lalu membanting pintunya dengan keras.
Vanessa sampai terperanjak karenanya.
"Model sialan! Lihat saja nanti, aku pasti bisa merebut Damian darimu!" Vanessa segera pergi setelah selesai mengenakan semua pakaiannya. Jujur saja, dalam hatinya Vanessa juga tak menyangka jika Isabell sangat buas saat sedang marah.
Bahkan rasa sakit atas cengkeraman Isabell pada rambutnya masih terasa membekas. Vanessa sangat kesal dan merasa telah di permalukan oleh Isabell.
Wanita itu menyeretnya dari tempat tidur Damian yang tinggi dan melemparnya keluar seperti seekor anjing. Dia tak bisa terima semua ini, dia ingin menuntut balas pada Isabell.
***
Isabell sedang duduk pada sofa. Wanita itu memalingkan wajahnya dari tatapan Damian yang sedang berjalan menuju padanya.
Damian mengerti, pasti Isabell sangat sakit melihatnya bersama Vanessa dalam satu selimut. Namun dirinya pun tak mengerti kenapa Vanessa sampai senekad itu. Sungguh dia dan Vanessa tak melakukan apa pun. Namun bisa saja Isabell meragukannya sekarang.
"Darling, aku minta maaf. Aku tak tahu jika Vanessa menghampiriku saat diriku sedang tertidur. Tapi sungguh, aku tak melakukan apa pun dengannya. Kau percaya padaku, kan?" Damian meraih jemari Isabell setelah duduk di sampingnya.
Isabell tak menjawabnya.
"Isabell," desah Damian sedikit menekan sembari berusaha menangkap pandangan istrinya itu.
Isabell menoleh padanya.
"Aku percaya padamu, Damian. Namun sepertinya akulah yang salah di sini. Aku terlalu sibuk dengan karirku sampai-sampai seseorang mencari kesempatan untuk menemani suamiku tidur. Maafkan aku," lirih Isabell sembari mencium jemari Damian yang menggenggm tangannya.
Damian mulai lega melihatnya. Dia segera meraih bahu Isabell ke dalam pelukannya.
"Tidak, tidak. Kau tak salah. Lupakan semuanya. Mulai sekarang aku berjanji, aku takkan lagi memberi wajahku pada Vanessa. Aku sungguh tak menyangka jika teman kecilku itu sampai berpikiran seperti itu." Damian melepaskan pelukannya dan menatap Isabell dengan lembut sembari memegang kedua bahu mungilnya.
Isabell mengangguk sembari tersenyum tipis. Damian membalas senyumnya.
"Damian, kau ingat kapan terakhir kita bercinta?" tanya Isabell kemudian.
Damian menatapnya heran atas pertanyaan istrinya itu.
"Lima hari yang lalu, saat pertama kali kita tiba di Devardo Hause," jawabnya kemudian. Tangannya menyelipkan anak-anak rambut Isabell ke telinga kirinya.
Isabell tersenyum tipis.
"Sudah cukup lama, ya. Apakah kau ingin mengulangnya lagi?" Isabell bertanya lagi, kali ini sembari melingkarkan kedua tangannya pada tengkuk leher suaminya.
Damian menelan ludahnya dengan tatapan heran pada Isabell.
"Isabell, apakah kau tidak sedang kelelahan? Kau baru saja pulang, tapi kau mengajakku untuk bercinta." Damian tersenyum gemas.
Isabell tertawa kecil menanggapinya.
"Untukmu aku tak pernah merasa lelah, Hubby. Aku ingin bercinta denganmu sekarang." Isabell berbisik lalu mengecup lembut pada pipi suaminya itu.
Damian serasa mendapat angin segar. Dia segera meraih tubuh Isabell ke pangkuannya.
"Baiklah, Nona Fernandez. Aku akan memuaskanmu malam ini," ucap Damian penuh semangat.
Isabell tertawa kecil melihatnya. Kemudian Damian mencium kilas bibir Isabell sebelum menggendong istrinya itu menuju tempat tidur. Keduanya terus berpangutan bibir sampai akhirnya Damian merebahkan tubuh Isabell ke tengah ranjangnya.
"Damian," pekik Isabell dengan tatapan yang sudah berkabut gairah.
Damian tersenyum seringai melihatnya.
HMT 8 - BELAHAN JIWA
Damian berdiri di depan Isabell yang tengah terlentang pasrah di tengah ranjangnya.
Sepasang nertanya menatap Damian penuh rasa kekaguman dan gairah atas tubuh polos suaminya yang terpampang di hadapannya kini.
Secara perlahan Damian mulai merangkak naik ke atas ranjang. Dikecupnya lebih dulu kening istrinya itu. Keduanya saling berpandangan lebih dulu sebelum memulai percintaan dengan di awali sebuah ciuman hangat.
"Damian," desah Isabell sembari merangkul punggung suaminya yang tengah berada di atas tubuh polosnya kini. Dia memberikan lebih dari apa yang Damian inginkan darinya.
Percintaan yang sangat panas, dengan hasrat yang bergelora
"Ahh, Isabell." Damian mengerang saat keduanya hampir mencapi puncaknya. Tubuh keduanya pun bermandikan peluh dan menyerah lemas akan ledakkan kenikmatan yang baru saja mereka lalui.
Damian memandangi wajah lesu Isabell yang terpulai lemas di bawahnya, dikecupnya bibir istrinya itu penuh cinta. Tatapan matanya dan senyuman di bibirnya cukup menegaskan, jika dirinya sangat terpuaskan atas percintaan yang baru saja mereka lakukan.
"Istirahatlah, Sayang." Damian mengusap lembut pipi Isabell sebelum tubuhnya berguling ke sampingnya.
Isabell hanya tersenyum puas melihat Damian tampak senang atas kenikmatan yang baru saja ia berikan.
Damian segera meraih Isabell ke dalam dekapannya, diusapnya punggung telanjang istrinya itu, dengan sesekali mengecup pucuk kepalanya penuh cinta. Isabell membenamkan wajahnya pada dada bidang suaminya. Tubuh polos keduanya saling bersentuhan dalam selimut.
"Damian, aku tak ingin kehilangan dirimu meski sekejap saja. Kau adalah suamiku, tapi jadilah lebih dari itu." Isabell mengusap bulu halus yang tumbuh pada dada bidang suaminya.
Damian tersenyum gemas mendengarnya.
"Isabell, aku sudah mendapatkan segalanya darimu. Apa lagi yang aku butuhkan sekarang? Aku sangat mencintaimu, Sayang." Damian mengusap pucuk kepala Isabell lalu
dikecupnya dengan lembut.
"Tapi aku belum menjadi istrimu yang sempurna, Hubby. Aku belum bisa memberimu seorang anak yang lucu seperti yang kau inginkan." Isabell menanggah, menatap Damian dengan pendar matanya yang tampak sedih.
Damian mengulas senyum tipis mendengarnya.
"Dengar, Isabell. Seorang anak yang lucu pasti akan terlahir darimu untukku. Aku percaya itu. Jangan terlalu dipikirkan, nikmatilah kehidupanmu yang sekarang," jelas Damian kemudian.
Isabell tersenyum lega mendengarnya.
Benar, Damian memang bukan tipe pria kejam yang selalu menuntut keturunan pada istrinya. Namun Isabell ingin agar dirinya bisa cepat-cepat memberikan penerus untuk keluarga Devardo.
Malam hampir tiba di penghujungnya. Damian dan Isabell berbincang banyak. Tentang karir mereka dan apa saja yang mereka alami selama satu hari 15 jam, saat keduanya saling berjauhan. Namun keduanya seolah melupakan insiden Vanessa tadi.
Cinta Damian dan Isabell memang sangatlah kuat. Keduanya begitu saling percaya dan mengerti. Seperti Isabell yang sangat mengerti, kenapa Vanessa sampai nekad memasuki kamar suaminya.
Ya, Damian memang teramat tampan dan sangat kaya raya. Jadi wajar saja jika banyak para gadis yang mencoba menjebaknya. Namun Isabell bukan tipe wanita lemah dan bodoh. Dia tahu betul tak-tik wanita macam Vanessa.
Dan Damian Devardo de Castijo tak mungkin dapat berpaling darinya begitu saja. Karena hanya dirinya yang mampu menyentuh hati Damian, bahkan memuaskan hasratnya. Dan hanya dirinyalah yang diinginkan oleh seorang Damian Devardo, bukan Vanessa atau wanita mana pun!
"Tak ada yang seperti Isabell"
Begitulah kata yang tercetuskan dalam hati Damian. Dia sudah cinta mati pada istrinya itu. Mengingat betapa sulitnya perjuangan cintanya dahulu untuk mendapatkan hati seorang Isabell Fernandez.
Menyandang gelar CEO muda yang sukses dan berasal dari keluarga berkasta tinggi dan sangat terhormat, ternyata tak cukup untuk membuat Isabell jatuh hati padanya. Ada banyak trik yang Damian lakukan untuk bisa menyentuh hati model cantik itu. Salah satunya dengan berpura-pura menjadi seorang pemain piano di sebuah resto mewah milik ayah Isabell.
Dengan kemahiran yang ia miliki, hampir setiap malam Damian rela menunggu Isabell sembari memainkan pianonya untuk menghibur para tamu di resto.
Lewat lagu-lagu romantis yang ia lantunkan dalam dentingan pianonya, akhirnya Isabell mulai menatapnya.
Isabell terpesona dengan lagu-lagu yang dibawakan oleh Damian.
Dan lagu-lagu romantis itulah yang akhirnya mampu menaklukan hati seorang Isabell Fernandez. Dia mulai memikirkan Damian dalam gelisahnya.
Sementara Damian terus menerus menyentuh hati Isabell sampai akhirnya bisa memasuki sanubarinya yang teramat dalam. Cinta Damian yang tulus telah meluluhkan hati Isabell.
Dan keduanya pun mulai dekat, bahkan melakukan beberapa kali kencan. Sampai akhirnya Damian menyatakan perasaannya pada Isabell dalam sebuah pesta valentine yang diadakan di resto dimana dirinya bermain piano.
Damian melamarnya di depan para tamu. Hal itu sungguh membuat Isabell merasa tersentuh akan ketulusan hati seorang Tuan Muda Devardo.
Dirinya terharu dan menerima lamarannya. Dan di hari ulang tahun Isabell yang ke 24 tahun, dengan niat baik Damian datang beserta keluarganya untuk meminang Isabell secara resmi di mansion mewah kediaman keluarga Fernandez.
Dua keluarga berkasta tinggi dan sangat terhormat itu pun menjalin hubungan kekerabatan. Hal itu sungguh menjadi berita hangat di seluruh Meksiko sepanjang bulan Febuari. Bulan baik dimana Damian dan Isabell melangsungkan pernikahan.
Pesta pernikahan Damian dan Isabel pun tak luput dari sorotan media kala itu. Bahkan menjadi topik perbincangan hangat di seluruh Meksiko.
Bagaimana tidak?
Pesta pernikahan mewah mereka di adakan di sebuah kapal pesiar. Kapal pesiar yang berlayar mengarungi perairan laut Karibia selama sepuluh hari sepuluh malam. Sungguh pesta pernikahan terpenomenal! Dan entah berapa banyak biaya yang di keluarkan Damian atas pesta pernikahannya yang besar-besaran itu. Mungkin milyaran peso.
Damian memang pria yang baik dan sangat romantis. Dia rela mengeluarkan banyak uangnya hanya untuk menyenangkan hati Isabell.
Sungguh tipe suami idaman!
Begitu para wanita di Meksiko memujinya. Dan Isabell dianggap wanita yang paling beruntung karena mendapatkan seorang Damian Devardo de Castijo.
Namun pernikahan Damian dan Isabell tak membuat Nyonya Devardo senang.
Benar, Isabell memang gadis yang berkasta sama dengan keluarga Devardo. Namun alangkah baiknya jika Damian tak perlu menikah saja.
Nyonya Devardo lebih suka jika putera tirinya itu melajang seumur hidup.
Dengan begitu Damian tak akan memiliki keturunan untuk melanjutkan generasi Devardo selanjutnya.
Namun saat Damian memintanya untuk meminang Isabell, Nyonya Devardo tak bisa berbuat apa-apa.
Dia berpikir mungkin dia bisa merencanakan sesuatu setelah Damian menikah nanti. Dan untuk melarang putera tirinya itu menikah, rasanya terdengar sangat aneh dan bisa memicu pertanyaan dari Damian nantinya.
Mau tak mau Nyonya Devardo tetap memasang wajah bahagianya saat menyaksikan pernikahan Damian dan Isabell.
Ya, dia memang terlahir sebagai seorang yang pandai memainkan drama. Mungkin dirinya lebih pantas menjadi pemain opera daripada seorang Nyonya Devardo, begitu menurut Berto, menatunya yang sangat bodoh dan tidak berguna itu.
"Damian," pekik Isabell yang beranjak dari tempat tidurnya saat mendengar dentingan merdu piano yang sedang Damian mainkan di sudut kamarnya.
Dengan tubuh hanya berbalut selimut Isabell mengayunkan tungkainya untuk menghampiri pria telanjang dada yang sedang memainkan piano di sana. Bibirnya mengulas senyum, Damian tampak sangat menggemaskan.
"Isabell," ucap Damian sedikit kaget karena Isabell mengecup pipinya dari belakang. Pria itu menghentikan gerakkan jemarinya atas piano-nya. Dia menoleh pada Isabell lalu menarik istrinya itu duduk di pangkuannya.
"Apa aku telah mengganggu tidurmu, Sayang?" Damian menatap manik kebiruan Isabell dengan lembut.
Gadis itu menggelengkan kepalanya sembari tersenyum.
"Tidak, aku senang melihatmu bermain piano, Hubby. Kau terlihat sangat memukau," jawab Isabell dengan ekpresi gemas akan pria yang sedang memangkunya itu.
"Baiklah, kalau begitu berikan aku sebuah ciuman, Sayang." Damian menatapnya lembut, lantas tersenyum penuh arti.
Isabell membalas tatapan itu dengan penuh gairah. Melihat kesediaan Isabell, Damian segera menurunkan wajahnya dan menyatukan bibir mereka. Sebuah lumatan panas dan lapar. Keduanya terus berciuman seraya menyambut pagi tiba.
HMT 9 - PERANG DINGIN
Pagi itu di ruang makan tampak beberapa pelayan wanita yang sedang nenata meja kristal berukuran panjang kali lebar di sana. Silvester tampak sedang memantau aktivitas para pelayan itu, mereka sedang meletakkan berbagai hidangan yang baru saja selesai ia masak.
Ada banyak hidangan yang dimasaknya, diantaranya ada burittos, fajita, echilada, quesadilla, dan taco isian daging sapi kesukaan Damian.
Semua hidangan lezat itu menimbulkan aroma yang menggugah selera. Dan Silvester sangat puas jika para penghuni Devardo House menghabiskan semua hidangan yang dimasaknya.
"Pagi, Silvester," sapa Damian yang baru saja tiba di ruang makan bersama Isabell yang tengah menggapit lengannya.
"Pagi, Tuan dan Nyonya Isabell. Apakah ada yang ingin saya buatkan untuk menu tambahan sarapan Anda, Tuan?" Silvester mendekap talam warna gold di dadanya.
Damian menoleh pada Isabell meminta pendapatnya. Isabell pun berbisik padanya. Silvester hanya terdiam menunggu jawaban mereka sembari mengusap rambut tipis yang tumbuh pada dagunya.
"Baiklah, Silvester. Isabell ingin dibuatkan susu hangat. Tolong buatkan segera," ucap Damian kemudian sembari menoleh pada pria berseragam pelayan di sampingnya.
"Anda akan mendapatkannya, Nyonya. Saya akan segera kembali." Silvester membungkuk dan segera memutar tubuhnya untuk kembali ke arah dapur.
Damian tersenyum menoleh pada Isabell.
"Ayo Sayang, duduklah. Aku akan siapkan sarapan untukmu. Kau mau makan apa? Ada taco dan burittos juga di sini." Damian menarik bangku untuk Isabell duduki.
Wanita itu pun tersenyum mengucap terima kasih padanya.
"Damian, aku sedang diet. Jadi aku sarapan susu dan buah saja," jawab Isabell dengan logat manjanya. Sebagai seorang model, Isabell selalu menjaga pola makannya.
"Astaga, Sayang. Untuk apa kau diet? Tubuhmu bahkan sudah tampak kurus. Tidak, kau harus makan sekarang. Aku tak ingin kau sakit nantinya," tegas Damian yang segera menaruh sepotong taco pada piring Isabell.
Gadis itu menatap nanar padanya.
Dia tak ingin dietnya berantakan karena ulah suaminya itu. Namun Damian memberinya tatapan tegas, dan meminta Isabell untuk segera makan.
Mau tak mau Isabell pun segera meraih sepotong taco itu dengan tangan kosongnya, lantas mulai menggigitnya perlahan. Damian tersenyum puas melihatnya.
Jika di Chili kita tidak makan dengan tangan kosong, lain hal dengan Meksiko saat sedang menyantap taco. Jangan makan taco dengan menggunakan garpu dan pisau, orang lokal menyukai makan taco dengan tangan kosong, seperti yang sedang Isabell lakukan.
"Isi susu cokelat pesanan Anda, Nyonya Isabell." Silvester datang dengan wajah cerianya, dia meletakkan gelas berisikan susu cokelat yang dipesan Damian tadi.
"Terima kasih, Silvester." Damian memberinya senyuman hangat.
Sedang Isabell hanya tersenyum tipis menanggapinya. Silvester membalas dengan tersenyum ramah.
"Baiklah, Tuan dan Nyonya. Selamat menikmati sarapannya," ucap Silvester sebelum menghambur pergi menuju dapur. Damian mengusap pucuk kepala Isabell sambil tersenyum gemas.
"Makanlah yang banyak, Sayangku," ucapnya.
Isabell hanya tersenyum kecut dan kembali melanjutkan makannya. Damian hanya bertopang dagu memandangi istrinya yang sedang menyantap sepotong taco. Isabell tak perduli, dia kesal karena dietnya berantakan pagi ini.
"Pagi, Sayangku Damian, Isabell." Nyonya Devardo telah tiba bersama Pedra dan Berto yang mengikuti dari belakangnya.
Mereka bertiga sedikit kaget mendapati Isabell yang sedang menyantap sepotong taco. Ada apa ini? Kenapa menantu bungsu itu makan lebih dulu darinya? Nyonya Devardo sedikit kesal melihatnya. Tampaknya Damian mulai tak memandangnya lagi sekarang.
"Pagi, Bu. Kak Pedra, Ayo kita sarapan," sambut Damian sembari menoleh pada mereka.
Pedra dan Berto saling berpandangan, mereka pun segera menarik bangku untuk duduk berhadapan dengan Damian dan Isabell.
Nyonya Devardo berjalan anggun menuju bangkunya. Seorang pelayan menarik bangku untuk ia duduki. Manik matanya memandangi Isabell yang sedang asik menyantap makanannya tanpa menyapa dirinya sama sekali.
"Wah, Isabell tampaknya sangat lapar pagi ini. Kurasa masakan Silvester ini cukup untuknya," cetus Pedra tanpa ragu sembari tersenyum sinis pada Isabell.
Damian hanya tersenyum tipis, baginya Pedra sedang menggoda istrinya saja. Namun tidak bagi Isabell, wanita itu segera menoleh tegas pada wanita di hadapannya saat ini.
"Apa maksud ucapanmu? Kau pikir aku tak pernah menemukan makanan di rumahku, hah?!" Isabell mulai tersulut emosi.
Nyonya Devardo hanya tersenyum tipis. Dia sangat senang melihat ekpresi Isabell bila sedang marah.
"Sayang, Kak Pedra hanya sedang menggodamu saja. Jangan hiraukan. Makanlah yang banyak," ucap Damian sembari merangkul bahu Isabell. Namun istrinya itu masih menunggu jawaban dari Pedra.
"Damian benar, aku hanya menggodamu saja. Makanlah yang banyak." Pedra tersenyum menyebalkan dan mulai mengalihkan pandangannya pada hidangan di meja.
Damian tersenyum pada Isabell. Dan Isabel mulai kehilangan nafsu makannya.
"Damian, uang bulanan sudah menipis. Bisakah kau trasfer pagi ini juga? Ada banyak barang dan kebutuhan dapur yang harus Ibu beli siang ini," tukas Nyonya Devardo di sela sarapannya.
Isabell terkesiap mendengar ucapan ibu mertuanya itu.
"Tentu saja, Bu. Aku akan mentransfernya pagi ini juga. Tenanglah," jawab Damian sembari tersenyum dengan wajah tenangnya.
Isabell menoleh pada suaminya itu. Entah kenapa dirinya merasa tak nyaman dengan obrolan mereka.
"Damian, uangku juga sudah menipis. Kapan kau kirim lagi? Aku ingin membeli tas Dior keluaran terbaru, juga pakaian untuk musim dingin nanti." tanpa mengendahkan pada Isabell, Pedra ikut menimbrung pula.
Isabell semakin kaget mendengarnya.
Apa-apaan ini? Kenapa Pedra pun meminta uang pada suaminya? Isabell mulai berpikir sembari meraih gelas susu cokelatnya lalu menyesapnya.
"Iya Kak Pedra, aku akan mengirimnya siang ini. Bersabarlah," jawab Damian dengan santai.
Isabell hampir tersedak mendengarnya. Apa dia tak salah dengar? Kenapa harus Damian yang memberikan uang untuk Pedra? Lantas si dunguk Berto apa kegunaannya? Isabell mulai kesal.
"Hubby, mulai sekarang bagaimana jika diriku saja yang mengatur keuangan di rumah ini? Lagi pula Ibu sudah cukup tua, sudah waktunya dia beristirahat untuk memikirkan segala pengeluaran di rumah ini," cela Isabell kemudian sembari memegang jemari Damian di atas meja.
Nyonya Devardo dan Pedra saling pandang kaget. Jangan sampai Damian setuju. Bisa-bisa mereka tak bisa lagi berpoya-poya dengan uang dari Damian.
"Isabell, apakah kau yakin? Selama ini Ibu-lah yang mengatur semuanya, termasuk seluruh gaji para pelayan di Devardo House ini." Damian menatap Isabell dalam.
Nyonya Devardo dan Pedra tampak harap-harap cemas.
"Tentu saja aku yakin, Hubby. Lagi pula aku adalah istrimu. Sudah sepantasnya aku yang mengatur semuanya sekarang, bukan?" Isabell berkata sembari memutar bola matanya pada Nyonya Devardo, dan memberinya senyuman remeh.
Nyonya Devardo mengepalkan buku-buku tangannya. Ternyata Isabell mulai menunjukkan perang dingin padanya.
"Damian, maaf bila Ibu ikut campur.
Tapi Isabell sangat sibuk dengan karirnya, apakah dia bisa mengatur rumah ini? Aku hanya takut Isabell kelelahan saja. Coba kau pikirkan lagi, Nak." Nyonya Devardo buru-buru menyela sebelum Damian mengiyakan saran Isabell tadi.
Damian hanya menoleh pada Isabell untuk memastikannya.
"Aku sama sekali tidak kerepotan, Bu. Aku masih muda dan lebih pantas mengurus rumah suamiku. Ibu sudah tua, istirahatlah." Isabell berkata dengan entengnya.
Nyonya Devardo menatapnya tajam penuh hujat. Isabell pun membalasnya dengan tatapan tajam pula. Kemarin wanita tua itu sudah merampas semua perhiasannya, anggap saja ini balasan darinya. Isabell tersenyum sinis kemudian.
"Apa yang dikatakan Isabell benar, Bu. Sudah saatnya Ibu beristirahat," pungkas Damian lalu mengusap pucuk kepala Isabell sembari memberinya senyuman gemas.
Nyonya Devardo bersandar lesu pada bangkunya sedangkan Pedra mengusap wajahnya tampak frustasi. Oh, shit! Sekarang mereka tak bisa lagi leluasa menghabiskan uang Damian, pikirnya.
Lain hal dengan Isabel yang bersulang dalam hati melihat kekalahan ibu mertua dan kakak iparnya yang culas itu. Dia sedang menegaskan pada mereka, jika dirinya bukan gadis polos yang datang dari desa untuk dibodohi.
Comments