top of page

DI ATAS RANJANG MAFIA



Ringkasan

Michele Lazzaro Riciteli, Bos Mafia paling sadis dan di takuti di Roma. Parasnya yang tampan dan dingin membuat pria 30 tahun ini sangat berkharisma. Namun di balik semua itu, Michele mengidap satu penyakit langka. Penyakit yang membuatnya tidak bisa merasakan rasa sakit meski puluhan peluru bersarang di tubuhnya. Tak hanya itu, pria dengan postur tinggi kekar ini pun tak bisa merasakan orgasme saat berhubungan intim dengan para wanita. Penyakit itu membuatnya frustasi dan menjadi mesin pembunuh berdarah dingin. Di suatu pesta Michele terlibat one night stand dengan wanita asal Virginia bernama Meghan Crafson. Dia sangat terkejut karena bisa merasakan orgasme saat bercinta dengan Meghan. Hari berikutnya Michele memerintah orang-orangnya untuk mencari dan menculik Meghan. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Siapakah Meghan, dan mengapa Michele ingin menculiknya?

One-night Stand

action badboy Thriller Tuan Muda Romansa Metropolitan Billionaire petarung Dewasa\


Chapter 1 - BOS MAFIA SADIS


"Tuan ..."

"Umhh!"

Lenguhan kenikmatan itu berasal dari bibir tebal seorang wanita yang tengah bersimpuh di lantai. Matanya yang bulat terangkat ke wajah rupawan pria yang sedang duduk pada sofa di hadapannya.

Sepuluh jemarinya memegang batang keras berurat milik pria itu. Sesekali ia mengusap dan mengurutnya perlahan, lantas kembali memasukkannya ke dalam mulut.

"Lakukan dengan benar dan jangan sampai ada cairan yang tercecer sia-sia. Kau paham, Jalang?!"

Pria tanpa busana itu menggertak wanita yang sedang bersimpuh di depannya.

Matanya melotot merah dengan rahang mengencang kuat. Sudah nyaris satu jam wanita itu memainkan miliknya. Namun, dia tak merasakan apa pun.

Benar-benar sial!

Entah seperti apa rasanya, dia tak tahu. Meski sudah banyak wanita yang di bayar olehnya, tapi tak satu pun yang bisa membuatnya merasakan kenikmatan yang sedang di carinya.

Si wanita mengangkat sepasang matanya. Dipandangi wajah tampan blasteran Turki-Italia di hadapannya kini. Dia terlalu sempurna bak Dewa Yunani, tapi sifatnya tak jauh berbeda dengan iblis yang buas.

Michele Lazzaro Riciteli, pangeran dari keluarga Mafia Riciteli yang tersohor di seluruh Roma-Italia.

Setelah kakeknya, Francesco Riciteli wafat, hak waris dan semua koneksi Mafia jatuh ke tangannya. Usianya baru 30 tahun dan dia terlihat begitu berkharisma sebagai bos komplotan para Mafia di kota itu.

"Umhh!"

Wanita itu mengerang. Wajahnya berangsur pucat saat batang keras di mulutnya terasa mengembang dan akan segera meledak. Dia tak tahan dan ingin melepaskannya.

Namun, dengan kasar Michele menjambak rambut merah wanita itu. Dia mendesak dan memaksanya menelan semua cairan yang keluar.

"Ueeek!"

Wanita itu memuntahkan sisa cairan ke lantai. Bahkan mengenai tungkai Michele. Akibatnya pria itu menjadi murka. Dia langsung menyambar rahang wanita itu dengan tatapan iblisnya.

"Beraninya kau mengotori kakiku!" geram Michele dengan mata berapi-api.

Wanita itu tergugup dengan mata yang basah."Tu-Tuan, maafkan saya. Cairannya terlalu kental dan banyak. Saya tak mampu menelan semuanya," lirihnya ketakutan.

Masih dengan wajah dipenuhi emosi, Michele pun bangkit."Itu bukan urusanku! Aku sudah membayarmu! Kau benar-benar payah!" gertaknya seraya melempar wanita itu sampai terjerembam ke sofa.

"Ma-maafkan saya, Tuan." Wanita itu berusaha bangkit dan mundur ketakutan saat Michele mendekat.

Pangeran Mafia Riciteli, dengan tubuh telanjang berdiri di depan wanita itu. Dia menatapnya nyalang. Percuma dia membayar mahal pada Madam Rose, ternyata wanita ini pun tak mampu membuatnya merasakan orgasme.

Dengan gerakan kilat, Michele menyambar pistol yang tergeletak di atas meja. Dia lantas menodongkan senjata itu ke dahi wanita di depannya.

Wanita itu dibuat sangat terkejut sekaligus ketakutan. "Tuan, tolong maafkan saya. Jangan bunuh saya," lirihnya dalam tangis dan tubuh yang gemetaran.

"Kau tak mampu membuatku puas. Matilah kau."

Duar!

Mata wanita itu membulat penuh, dengan mulut sedikit terbuka tanpa suara. Tubuhnya yang polos ambruk ke sofa seketika. Lubang peluru tercetak di dahinya dengan sempurna. Matanya masih melotot saat tubuhnya terhempas tak bernyawa.

Mendengar ada suara tembakan dari dalam kamar VIP di mana bosnya berada, Sergio dan dua orang bodyguard bergegas memeriksa.

"Bos, apa yang terjadi? Anda baik-baik saja?" tanya Sergio dengan wajah panik saat memasuki kamar. Mereka terkejut melihat wanita yang semalam mereka bawa sudah tergolek di sofa dengan kondisi mengenaskan.

Michele sedang berdiri sambil menutup kancing lengan kemejanya. Wajah pria itu tenang-tenang saja.

"Cepat singkirkan sampah itu dari sini," ucapnya acuh tanpa memalingkan pandangan dari siluet yang muncul pada standing miror di depannya.

"Baik, Bos."

Sergio segera menyuruh dua orang bodyguard untuk mengurus mayat wanita di sofa. Dia tak banyak bertanya pada Michele.

Sergio Lorenzo, pria itu sudah bekerja pada kakek Michele sejak lama. Hingga saat Bos Besar Mafia sakit keras lalu meninggal, Sergio mengabdikan seluruh hidupnya pada Michele selaku ahli waris Kerajaan Mafia peninggalan Francesco Riciteli selanjutnya.

"Bos, Tuan Alberto ingin menemui Anda." Empat jam berlalu, Sergio menemui Michele yang sedang duduk santai di teras balkon sambil menikmati batang cerutunya.

"Mau apa pria tua itu menemuiku? Apakah dia sudah bosan hidup?" Michele menanggapi dengan acuh. Bibirnya mengulas senyum tipis melihat seekor kupu-kupu yang sedang hinggap pada kuntum-kuntum Jacaranda.

Sedikit ragu, Sergio menjawab, "Sepertinya Tuan Alberto ingin melihat putrinya."

Masih dengan acuh pada Sergio, Michele bangkit dari sofa. Dibuang sisa cerutunya ke sembarang arah. Dia bergegas menghampiri kupu-kupu yang sedang diperhatikannya.

Pria itu sama sekali tidak tertarik dengan apa yang Sergio uraikan.

"Kena kau." Michele berhasil menangkap kupu-kupu itu. Bibirnya menyeringai tipis melihat makhluk lemah itu berusaha kabur.

Sergio masih di posisinya. Meski ini bukan hal aneh lagi baginya, tapi Pangeran Mafia, Michele Lazzaro Riciteli memang benar-benar penuh misteri.

Lihatlah, dia sedang menyiksa kupu-kupu tak berdosa itu, dengan merobek sayapnya lalu mencabuti semua kakinya.

Entah apa yang pria itu inginkan. Sergio melihat Michele yang tersenyum begitu puas saat menyiksa makhluk tak berdaya itu.

Ada rumor yang mengatakan jika Michele tak hanya mengidap penyakit langka, tetapi dia juga seorang psikopat.

Menghabisi nyawa orang sudah menjadi hobinya. Bahkan, dia selalu membawa pistol ke mana pun dirinya pergi, dan menyimpannya di bawah bantal saat ia tidur.

"Ayo pergi jika kau bisa! Sayapmu sudah kurobek dan tangan kakimu sudah kucabut. Katakan, apa yang bisa kau lakukan sekarang?!" Michele tersenyum puas sambil memainkan pistolnya melihat kupu-kupu itu sudah sekarat.

Baginya, kupu-kupu tak berbeda dengan para jalang yang sudah dirinya bayar. Mereka payah dan tidak berguna. Padahal bukan mereka yang payah, justru dirinya yang bermasalah.

Sergio hanya memandangi dengan perasaan tak habis pikir. Kenapa Tuan Muda Riciteli memiliki kelainan seperti itu?

Tak hanya gemar menyiksa makhluk kecil semacam kupu-kupu, Michele juga sering menyayat lengan para pelayan di mansionnya jika sedang bosan. Bahkan menembak para bodyguard tanpa alasan.

Dia tak hanya psikopat, tetapi juga monster yang mengerikan!

Sergio sangat terkejut saat Michele menolehkan kepala ke arahnya. Manik kebiruan pria itu membuatnya takut. Dia bergerak mundur satu langkah saat Michele mendekat.

"Katakan, apa gadis bodoh itu masih hidup?" tanya Michele pada Sergio sambil memainkan pistol di tangannya.

"Masih, Bos. Namun, sepertinya dia sudah sekarat." Sergio dibuat terkejut saat Michele melotot padanya. Apakah dia salah bicara?

"Kenapa dia belum mati juga? Aku tak mau Alberto kembali berkumpul dengan putrinya. Aku benci melihat orang lain bahagia," desis Michele ke wajah Sergio.

"Jika itu mau Anda, maka kami akan menghabisinya, Bos." Sergio berusaha tenang meski tatapan tajam Michele nyaris membunuhnya dalam rasa ketakutan.

"Kau sudah bekerja keras selama ini, kali ini biar aku yang mengurus gadis sialan itu. Kau pergilah, hubungi Alberto dan katakan jika putrinya akan segera di pulangkan," ucapnya, lantas mundur dari hadapan Sergio disertai seringai tipis yang mengerikan.

Sergio menghela nafas panjang. Apa yang mau Michele lakukan pada gadis malang itu? Dipandangi punggung kekar Michele menjauh darinya.

"Selamat sore, Bos."

"Silakan."

Michele berjalan cepat memasuki ruangan yang berada di lantai bawah tanah markasnya. Dua orang bodyguard membuka pintu untuknya dan mengantarnya masuk.

Ruangan dengan pencahayaan agak remang menyambut, Michele menghentikan langkah agak jauh dari beberapa pria bertelanjang dada yang sedang mengelilingi sebuah meja bilyar.

Di tengah meja bilyar itu tampak seorang gadis terlentang pasrah tanpa busana, dengan tangan dan kaki yang terikat ke masing-masing sisi meja. Kondisinya sangat mengenaskan.

"Berikan aku kabar terbarunya," ucap Michele seraya menaruh satu cerutu di mulutnya dengan santai.

"Gadis itu sudah tidak dibutuhkan lagi. Orang-orang politik sudah melakukan koalisi."

Seorang bodyguard bergegas maju dan langsung menyalakan korek api untuk bosnya. Michele menghembuskan asap cerutunya ke udara. Kemudian dia berjalan menuju gadis itu.

"Kami sudah membantainya dua hari ini. Dia cukup tangguh," ucap seorang pria bertelanjang dada yang berdiri di sekitar. Mereka anak buah Michele.

"Benarkah?" Michele menyeringai tipis sambil memandangi gadis yang sedang tergolek tak berdaya di hadapannya.

Tubuh gadis itu dipenuhi luka gigitan dan sayatan. Michele tersenyum miring melihatnya.

Tiga hari yang lalu orang-orangnya menculik gadis itu dari kampus. Dia putrinya Alberto si pesaing partai kolega Michele. Mereka hanya di bayar untuk menculiknya karena perang politik yang sedang terjadi di antara dua kubu partai.

Emily, gadis tak berdosa itu harus menjadi korban penculikan, penyekapan dan kekerasan seksual yang dilakukan komplotan para Mafia.

Usianya 20 tahun, dia nyaris tewas karena penyiksaan yang dialaminya dua hari terakhir.

"Tinggalkan aku sendiri!" perintah Michele pada semua anak buahnya.

"Baik, Bos."

Semua orang pun pergi. Tinggalkan Michele dan Emily di ruangan itu.

Pria tinggi dengan gambar tato di pergelangan tangannya tersenyum manis seraya mencondongkan wajahnya pada Emily. Gadis itu menatap Michele penuh amarah dan ketakutan.

"Gadis belia yang malang. Sebelum mati kau harus tahu siapa orang di balik semua ini," bisik Michele ke wajah Emily yang pucat. Jemarinya membelai pipi hingga rahang lebam gadis itu.

"Tuan, kumohon lepaskan aku. Biarkan aku pulang," lirih Emily dengan tatapan sendu.

Michele menggeleng."Tidak, Sweetie. Jika kau pulang maka para gengster akan menangkapmu. Ayahmu memiliki banyak masalah. Dia yang membuatmu berada di sini," bisiknya lagi.

"Itu tidak mungkin," lirih Emily.

"Mungkin saja, karena ayahmu lebih memilih partainya daripada putrinya sendiri. Kau tahu itu?" desis Michele, lantas menyeringai tipis.

Emily terdiam dalam rasa kecewa. Teganya sang ayah telah menjadikan dia korban untuk kelancaran partainya. Dia tak bisa percaya semua ini.

Melihat Emily menangis, Michele mulai muak dibuatnya. Kemudian diraih kawat baja dari saku jas hitam yang membalut tubuh atletisnya. Dengan cepat dia menjerat leher gadis itu.

"Aarkkhh!" Emily sangat terkejut saat Michele menjerat lehernya.

Dia mengerang saat kawat baja mencekik lehernya begitu erat. Dia tak bisa berontak, sebab kedua tangan dan kakinya diikat.

Matanya yang basah menatap nanar wajah Michele. Tatapan itu memohon padanya agar diberi kesempatan untuk hidup.

Namun, Michele menolaknya. Tangannya semakin kuat menjerat leher gadis itu.

Tangan dan kaki Emily berhenti bergerak. Mata basah gadis itu melotot ke atas.

Kawat baja Michele meninggalkan bekas luka yang cukup dalam di sekitar leher Emily. Darah segar mengucur dari sana. Dia terlihat seperti seekor lembu yang habis di sembelih.

"Tidurlah, Sayangku. Tugasmu sudah selesai di sini," bisik Michele ke telinga Emily. Bibirnya menyeringai tipis melihat gadis itu sudah tak bernyawa lagi.

Ada kepuasan tersendiri saat dia melenyapkan nyawa seseorang. Tentu saja.


Chapter 2 - PENEMUAN MAYAT DI KAMPUS


Di bar kasino dan karaoke milik Federico Castaro, pengusaha dunia hitam yang berkedok sebagai pengusaha mebel di Roma.

Gemerlap lampu kristal yang tergantung di tengah ruangan berisik itu menjadi saksi bisu apa yang sedang dilakukan Federico pada gadis belia yang bekerja di bar-nya.

"Jangan menangis saja. Ayo berdesahlah, Sayang!" gertak pria berambut pirang sambil menjambak rambut merah gadis yang sedang berjongkok di depannya.

Mata basah gadis itu terangkat ke wajah Federico. Dia berusaha keras membuat pria itu senang.

Namun, ini yang pertama baginya. Dia benar-benar tak paham, bagaimana melakukannya dengan benar.

"Terus, Baby! Masukan lebih dalam. Oh, Baby!" Federico melenguh panjang sambil menjambak rambut merah gadis itu. Dia menekan dan mendorongnya kasar.

Gadis itu tersedak sampai batuk-batuk. Permainan pun dihentikan beberapa saat. Cairan kental tercecer di bibirnya. Dia butuh waktu untuk kembali siap.

Federico yang baru melalui pelepasan tetap terjaga. Miliknya masih menegang dan menuntut lebih.

Dengan cepat, diraih pinggang kecil gadis itu, lantas mendudukannya di atas meja. Dengan penuh gairah, Federico mulai melampiaskan hasrat liarnya.

"Tuan, pelan-pelan!" Gadis itu mengerang kesakitan saat Federico mendesak dengan kasar.

"Diamlah, Jalang!" Federico yang sedang sangat bernafsu menampar pipi gadis itu dengan keras.

Gadis itu hanya bisa pasrah sepanjang permainan. Dengan liar dan brutal pria itu menggumuli tubuhnya di atas meja. Federico sangat menikmati penyatuan itu. Dia tak henti mengerang dan berdesah.

Brak!

Pintu ruangan itu di dobrak dari luar. Baik Federico mau pun gadis yang bersamanya, mereka sama-sama terkejut melihat komplotan para Mafia memasuki ruangan.

Michele menaikan sudut bibirnya melihat Federico dalam kondisi tanpa busana. Kemudian matanya turun pada gadis belia di dekat pria itu.

Dengan menggunakan pistolnya, Michele melempar pakaian ke arah gadis itu.

Si gadis buru-buru mengenakan pakaian lalu pergi. Tinggalah Federico yang masih telanjang bulat. Pria itu mundur saat Michele bergerak maju padanya.

"Bagaimana rasanya bercinta dengan gadis belia yang bahkan lebih muda dari putrimu? Dasar Pedofil," cibir Michele sambil memainkan pistolnya.

Federico tampak ketakutan."Tuan Muda Riciteli, kenapa Anda ke sini? Bukankah urusan kita sudah selesai?"

Michele menyeringai tipis. "Harusnya sih begitu," jawabnya acuh. Kemudian dia langsung menyambar leher Federico dengan sekali tangkap. Tentu saja pria itu sangat terkejut dibuatnya.

Michele menatapnya tajam."Kenapa kau membohongiku? Di mana barang yang asli? Kau coba menipuku? Apa kau sudah bosan hidup?" desisnya ke wajah Federico.

"Maafkan aku, Tuan Muda. Ini semua perintah Tuan Georgio, aku cuma orang suruhannya." Federico nyaris pingsan ketakutan. Michele bisa menembak kepalanya kapan saja.

Michele tersenyum remeh."Kau sudah menipuku, artinya kau lebih memilih mati."

Federico, dengan wajah melasnya memohon pada Michele. Namun, bukan Pangeran Mafia Riciteli jika masih punya rasa kasihan di hatinya.

Duar!

Tubuh Federico tumbang seketika dengan luka tembak di dahinya.

Michele hanya tersenyum sinis, lantas melempar pistolnya ke salah satu anak buahnya. Kemudian dia pergi sambil menghembuskan asap cerutunya dengan santai.

Sepuluh orang pria berpakaian formal berjalan mengekor di belakang Michele. Musik RMB terdengar di sepanjang lorong. Orang-orang berlarian menuju ruang karaoke di mana terdengar suara tembakan.

Sementara itu dari atap gedung sebuah universitas ternama di kota Roma, dua orang pria tampak sedang berdiri di sana. Mereka melempar jenazah Emily ke bawah setelah hitungan ke tiga.

Paolo, kaki tangan Michele menghampiri dua orang pria itu. Dilihatnya jasad Emily di bawah saja. Gadis itu mati dengan sangat menggemaskan.

"Ayo kita pergi," ucapnya kemudian. Mereka segera meninggalkan lokasi.

*

"Aku sudah katakan padanya jika aku tak mau berkencan, tapi dia memaksa. Sial! Bahkan pria itu lebih buruk dari yang aku bayangkan!"

Seorang gadis berambut kecokelatan bicara dengan wajah kesal sambil membuka seat belt yang melingkar di tubuhnya.

Meghan Crafson, gadis cantik dengan bola mata biru terang. Pagi ini ia baru tiba di kampus bersama temannya, Moly.

"Benarkah? Tapi bukankah Ricardo cukup tampan? Bahkan dia memiliki banyak uang! Cintailah uangnya, persetan dengan orangnya," ucap Moly acuh sambil menutup pintu mobil. Mereka berjalan bersisian memasuki area kampus.

"Kalau begitu kau saja yang berkencan dengan pria kurus itu," desis Meghan dengan wajah sebal.

Moly tertawa kecil melihat temannya merajuk."Baiklah, Nona Crafson. Lupakan pria pilihan kakakmu itu, kita ke pesta nanti malam. Bagaimana?"

Meghan menoleh cepat. "Tentu," sambutnya dengan serius.

Moly kembali tertawa. Kemudian dia merangkul bahu Meghan. Mereka berjalan cepat menuju koridor.

Kerumunan di belakang kampus mengalihkan perhatian dua gadis itu. Meghan dan Moly saling pandang dengan mimik heran.

Kemunculan mobil polisi dan ambulans semakin membuat mereka terkejut dan penasaran.

"Vito, ada apa ini? Kenapa ada mobil polisi di kampus?" Meghan menghadang seorang pemuda yang sedang bejalan dengan terburu-buru.

"Anak-anak menemukan mayat di belakang kampus," jawab Vito dengan wajah panik.

"Mayat?" Meghan dan Moly saling pandang kaget.

"Baiklah, aku harus ke ruangan dekan sekarang. Bye!" Vito bergegas pergi dengan tergesa-gesa.

Meghan hanya diam nyaris tak percaya. Di kampus elit ini, bahkan terjadi pembunuhan? Ini benar-benar gila!

"Awas! Tolong beri jalan!" Para medis mendorong brankar menuju mobil ambulans.

Semua orang menyingkir. Meghan dan Moly hanya memandangi dengan wajah ngeri.

"Apa yang terjadi pada Emily? Kenapa dia sampai bunuh diri? Ini benar-benar aneh!"

Meghan bicara sambil memainkan sedotan jusnya di kantin. Dia cukup mengenal Emily. Gadis itu introvert dan tak pernah terlibat masalah. Mustahil dia bunuh diri. Dia benar-benar heran.

"Entahlah. Bukankah kakakmu sedang menyelidikinya?" jawab Moly dengan wajah acuh. Dia tak begitu tertarik untuk mengurusi hal semacam itu. Lain dengan Meghan yang selalu ingin tahu dan penasaran.

"Ya, kakaku pasti akan menangkap penjahatnya," jawab Meghan, lantas kembali sibuk dengan jusnya meski pikirannya masih mengenai Emily.

Pukul dua sore. Dari seberang jalan, Michele memperhatikan aktifitas di kampus itu sambil duduk pada bangku tengah mobil Mercedes Benz C-Class warna hitam yang dikemudikan oleh Sergio.

Para polisi dan detektif masih berkeliaran di sekitar kampus. Garis polisi pun masih terpasang di sekitar. Pria itu memicingkan satu alisnya.

"Apa kabar terbarunya?" tanya Michele.

Sergio yang sedang duduk menghadap kemudi mobil bergegas menjawab, "Kampus akan diliburkan selama proses penyelidikan."

"Apakah mereka sudah menemukan barang bukti?" Michele bertanya lagi, kali ini sambil memainkan batang cerutu yang baru diambilnya dari saku jas.

"Sepertinya mereka akan kesulitan," jawab Sergio sambil menatap siluet Michele lewat kaca spion di atasnya.

Pria di bangku tengah menaikan sudut bibirnnya. "Gadis itu tewas bunuh diri, bukankah begitu?"

"Benar, Bos."

Sergio segera melajukan mobil. Kaca jendela mobil itu pun naik perlahan menutupi wajah tampan Michele.

Meghan yang sedang duduk di kursi taman tak sengaja melihat wajah pria di dalam mobil itu. Siapa dia dan mau apa? Bahkan dia melihat mobil itu menepi cukup lama tadi. Mencurigakan sekali, pikirnya.

Malamnya Michele mendatangi gudang ganja milik Federico. James mengatakan jika Federico sudah menukar barang yang mereka pesan dengan yang palsu.

Michele yang murka langsung menghabisi pria itu di bar kasino miliknya. Kemudian membuang mayat Federici ke teluk.

"Ini asli, Bos." Paolo, kaki tangan Michele mencicipi lebih dulu serbuk putih yang mereka temukan di gudang Federico.

Michele tersenyum licik. "Cepat angkut semuanya ke markas. Kemudian bakar gudang ini," perintahnya.

Paolo segera menjalankan perintah bosnya. Mereka mengangkut semua barang dengan truk menuju markasnya. Kemudian membakar gudang Federico. Setelah itu mereka pergi berpesta.

"Anda yakin, jika putri Anda benar-benar bunuh diri?" Letnan Jose bertanya pada Alberto saat menemui pria tua itu di rumahnya. Dia tak yakin dengan semua penuturan Alberto.

Sayangnya pria itu menolak saat mereka mau melakukan proses autopsi pada jenazah Emily.

Alberto mengangguk sambil memejamkan matanya. "Aku yakin. Pergilah dan tutup kasus ini. Aku mau putriku beristirahat dengan damai," ucapnya, lantas bangkit dari sofa dan membawa tubuh ringkih itu masuk kamar.

Jose menarik nafas panjang lalu menggeleng pusing. Kenapa Alberto berbohong pada pihak kepolisian? Apa yang pria tua itu takuti? Beragam pertanyaan muncul di benaknya.

"Kasus ini akan segera di tutup. Mulai selidiki kasus lain saja. Mungkin kasus pembobolan Bank Century. Ya, kurasa itu jauh lebih meresahkan warga kota."

Mata Jose teragkat ke wajah atasannya yang sedang bicara sambil mondar-mandir tak jelas.

Dia muak terus bekerja pada pria itu. Para Mafia itu pasti sudah menyokong mereka dengan uang dan wanita. Jose benar-benar tak habis pikir.

"Sepertinya aku mau ambil cuti dulu dua hari ini," ucap Jose dengan wajah bosan. Kemudian pria itu bangkit dari duduknya.

"Cuti?" Sang atasan bertanya dengan wajah heran pada Jose.

"Ada serial animasi yang ingin aku tonton dengan adik perempuanku," jawab Jose acuh lantas menghambur pergi begitu saja.

Semua orang menatapnya heran. Persetan dengan semua itu, Jose terus saja melanjutkan langkahnya meninggalkan ruangan.

Hatinya benar-benar kesal dengan kinerja para rekannya akhir-akhir ini.

Dia yang berasal dari Amerika tak paham dengan kepolisian di Italia, di mana para Mafia yang memegang kendali mereka.

Michele Lazzaro Riciteli, suatu saat dia pasti akan menangkap bajingan itu dengan tangannya sendiri. Ini janjinya, janji seorang polisi.


Chapter 3 - MARKAS MAFIA


Jarum jam menujuk ke angka 10. Terdengar bunyi air yang masih mengalir di wastafel.

Pintu kamar mandi tidak di tutup dengan rapat. Di dalamnya terlihat seorang pria yang sedang berdiri di depan cermin.

Alberto, pria itu menatap siluetnya sesaat sebelum menurunkan pandangan pada tangannya yang sedang merakit pistol jenis Revolver berkaliber 44 yang berisi 5 - 7 peluru.

Wajah pria itu tampak dipenuhi amarah dan dendam. Tentu saja. Putrinya baru saja tewas dengan mengenaskan dan dia di keluarkan dari partai.

Semua itu terjadi karena Michele Lazzaro Riciteli. Mafia sialan itu ... dia akan menembaknya malam ini.

Pistol selesai di rakit, Alberto bergegas mengenakan sarung tangan hitam, topi, dan yang terakhir ia menutup sebagian wajahnya dengan kain hitam.

Dipandagi siluetnya pada cermin. Dia tak lagi kelihatan seperti orang politik atau pengusaha, melainkan seperti seorang pembunuh bayaran. Bahkan dia akan lebih sadis dari itu.

Malam kian larut. Sudah saatnya anjing pemburu keluar dan mencari mangsa. Alberto segera meninggalkan rumahnya.

Seorang wanita paruh baya melihat punggung pria dengan manntel hitam itu masuk mobilnya.

Apakah itu Tuan Castaro? Wanita itu tampak heran melihat penampilan Alberto yang aneh dan tak biasanya.

Pesta besar sedang di adakan di bar kasino milik Federico yang kini sudah berpindah tangan pada Michele.

Para wanita berpakaian seksi meliuk-liukan tubuhnya mengikuti irama musik. Ada pula yang sedang duduk menemani para tamunya minum.

"Waw! Ini pesta yang hebat, Bro!" Carlo Riciteli, adik angkat Michele yang baru berusia 16 tahun tampak begitu senang sambil mengoyangkan kepalanya menikmati musik.

Michele yang sedang duduk hanya tersenyum tipis melihatnya."Carilah wanita dan cobalah melakukan seks. Kau harus belajar dari sekarang," ucapanya pada Carlo kemudian.

Paolo yang duduk di samping Carlo hanya tersenyum geli seraya mengacak-acak rambut remaja itu.

"Aku tak mau. Itu menjijikan!" ujar Carlo yang langsung di sambut gelak tawa oleh Paolo dan para bodyguard yang mengelilingi mereka.

Sementara Michele hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.

Carlo masih belia. Bahkan dia hanya bayi di matanya. Betapa pun kejamnya dia, Michele sangat menyayangi Carlo sebagaimana adiknya.

Sepuluh tahun yang lalu dia tak sengaja menembak sepasang suami-istri saat mabuk di bar.

Mereka adalah orang tua Carlo.

Anak laki-laki berusia enam tahun itu membuatnya iba di pemakaman. Michele memutuskan untuk membawanya pulang.

Sampai saat ini Carlo tak pernah tahu jika Michele yang sudah menghabisi orang tuanya.

Dia bersyukur memiliki Michele. meski dia hanya adik angkatnya, tapi Michele memberikan kekuasaan dan kemewahan layaknya pada adik kandungnya.

Di luar bar tampak dua orang gadis yang sedang berjalan meninggalkan mobilnya.

Meghan dan Moly mendatangi bar yang salah. Ini bukan bar di mana temannya mengadakan pesta, tapi ini bar di mana di dalamnya terdapat para komplotan Mafia sadis.

"Kau yakin ini tempatnya? Kurasa kita salah mendatangi bar," ucap Meghan seraya memperhatikan aktifitas tempat hiburan malam di depannya itu.

Moly sibuk merapikan riasan wajahnya."Memang ini bar-nya. Nick yang sudah memberikan alamatnya padaku tadi," ucapnya lalu membenahi alat make up yang dipegangnya ke dalam tas.

"Ayo masuk!" lanjutnya seraya menarik lengan Meghan.

Setibanya di dalam bar, Meghan dibuat heran. Tak ada satu pun orang yang ia kenali di sana. "Aku yakin ini bukan bar-nya."

Moly tak kalah heran."Kurasa kau benar," sahutnya dengan mata yang enggan berkedip melihat apa yang sedang orang-orang lakukan.

Mereka sedang mabuk dan melakukan seks bebas di depan umum tanpa rasa malu. Ini gila. Mereka harus segera pergi.

"Hei, Nona! Mau kemana kalian?" Dua orang bodyguard menghadang jalan Meghan dan Moly yang sedang menuju pintu keluar. Dua gadis itu dibuat terkejut.

"Kami salah masuk bar. Kami mau pulang," jawab Meghan. Sementara Moly hanya berlindung di belakang bahunya dengan mimik ketakutan.

Dua orang bodyguard itu saling pandang. Kemudian mata mereka turun pada kamera yang sedang dipegang oleh Meghan.

Dengan cepat direbut benda itu."Apa kalian para reporter yang sengaja ingin meliput kegiatan di bar ini?" tanya si bodyguard dengan tatapan curiga pada Meghan.

Gadis itu buru-buru menggeleng. "Bukan, kami bukan reporter! Kami benar-benar hanya salah masuk bar saja. Tolong berikan kameranya dan biarkan kami pergi."

Sepertinya dua orang bodyguard itu tidak percaya pada mereka. Meghan dan Moly saling pandang dengan wajah cemas. Mereka dalam masalah besar jika tetap di sini.

Dua gadis itu saling memberi isyarat untuk segera kabur. Namun, dua orang bodyguard berhasil menangkap Meghan.

"Lepaskan aku! Bajingan kalian!" Meghan berteriak saat dua orang bodyguard itu menyeretnya kembali masuk bar.

"Meghan, ya Tuhan ... bagaimana ini?" Moly yang panik bergegas menghidupkan mesin mobil.

Mereka para Mafia sadis, terlalu berbahaya jika dia kembali masuk ke bar itu. Dengan kebingungan dan memikiran Meghan, Moly akhirnya pergi.

"Meghan, maafkan aku."

Kembali ke dalam bar. Dua orang bodyguard membawa Meghan menuju salah satu kamar VIP di hotel yang berada di lantai dua bar itu.

Meghan tak henti berotak dan berteriak minta tolong. Namun, siapa yang akan datang menolongnya? Yang ada di bar itu penjahat semua. Dia dalam masalah besar saat ini.

"Moly, apa kau bersama Meghan?

Di mana kalian?"

Jose menelepon Moly karena Meghan belum juga pulang. Satu jam yang lalu mereka pamit untuk mendatangi pesta temannya, tapi sampai sekarang Meghan belum juga kembali. Sebagai kakak tentu Jose sangat khawatir pada adik perempuannya.

Moly yang sedang duduk bersandar di bawah ranjangnya sangat gugup saat menerima telepon dari Jose.

"Meghan, dia ... dia ada di sini! Ya, Meghan menginap di apartemenku. Jangan cemas," ucapanya berbohong karena kebingungan dan ketakutan.

"Meghan di apartemenmu? Syukurlah. Namun, kenapa ponselnya tak bisa di hubungi?" Jose bertanya lagi.

Moly memejamkan matanya erat-erat. Jose seorang polisi. Bagaimana jika pria itu tahu kalau dia sedang berbohong?

Ah, tidak. Jose tak boleh sampai tahu. Para Mafia itu bisa saja menculiknya jika mengetahui dirinya yang sudah memberitahu polisi.

Moly berusaha tenang."Ponsel Meghan kehabisan daya. Dia pun sudah tidur. Aku juga sudah mengantuk. Nanti aku minta Meghan menghubungimu besok pagi. Selamat malam," ucapnya lalu menutup panggilan.

Moly bersandar lesu pada tepi ranjangnya. Astaga ... entah bagaimana nasib Meghan di markas para Mafia itu?

Jose masih ingin menanyai Moly pasal Meghan, tapi ponselnya kehabisan daya dan mati. Penuturan gadis itu terdengar aneh.

Apa benar Meghan sudah tertidur dan ponselnya tidak aktif?

Entahlah, dia tak yakin. Namun ini sudah malam. Baiknya esok pagi dia segera menjemput Meghan di apartemen Moly, pikirnya seraya membaringkan tubuh di atas sofa.

Kembali pada Meghan.

"Lepaskan aku! Apa yang kalian lakukan?!"

Gadis dengan mini dress warna hitam itu menjerit-jerit saat dua orang bodyguard merebahkan dia secara paksa lalu mengikat kedua tangannya ke masing-masing sisi ranjang quen size di kamar VIP itu.

Entah kamar siapa ini dan mau apa mereka? Gadis itu nyaris menangis ketakutan.

"Bos, kami sudah membawa gadis itu ke kamar Anda." Seorang bodyguard menelepon sambil berdiri membelakangi Meghan.

Bos?

Siapa yang di panggil bos oleh bodyguard itu? Apakah bos para Mafia? Bulu kuduk Meghan meremang ketakutan. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya.


Chapter 4 - SEXY GIRL


Italia kaya dengan sejarah dan nilai budaya sejak ribuan tahun lampau. Kehidupan seks di Italia juga cenderung bebas.

Italia identik dengan industri seks yang meriah dan glamor. Bahkan mereka mengadakan pesta seks di beberapa moment.

Meghan terkesiap saat indera pendengarannya menangkap suara-suara yang mendekat.

Derap langkah sepasang pantofel? Apakah bos yang dimaksud oleh para bodyguard itu telah datang?

Jantung Meghan berdegup kencang. Keringat dingin bercuruan dari milyaran pori-pori.

Apa yang harus ia lakukan sekarang? Gadis itu berusaha menarik-narik kedua tangannya. Oh tidak. Ikatan ini terlalu erat. Pergelangan tangannya sampai memerah akibat tindakkan yang sia-sia itu.

Wangi maskulin parfum seorang pria menyeruak indera penciumannya. Tenggorokan Meghan terasa tercekat karena ketakutan. Pria itu sudah berdiri di hadapannya kini.

"Kenapa menatapku seperti itu? Apa kau sudah tak sabar ingin bermain-main denganku?" Michele menaikan sudut bibirnya seraya memandangi gadis yang terikat di tengah ranjang.

Sepertinya kali ini Madam Rose mengirim gadis yang salah. Bahkan gadis itu sedang menatapnya begitu berani.

Dia bergegas maju satu langkah. Kedua tangannya masih berada di masing-masing saku celana kainnya yang licin.

"Kau tidak kelihatan berpengalaman. Padahal aku sudah membayar mahal. Aku mau seks yang liar malam ini," desis Michele. Wajahnya terlihat seperti iblis yang buas dan kejam.

Meghan menelan ludah kasar. Seks yang liar? Tubuhnya gemetar ketakutan mendengar ucapan mesum pria asing itu.

"Dengar, Tuan Mafia. Kau salah orang. Aku bukan wanita yang kau pikirkan. Aku salah masuk bar lalu mereka membawaku ke sini. Lepaskan aku, aku harus pulang," ucap Meghan berusaha tenang meski dia nyaris pingsan ketakutan.

Michele tersenyum remeh mendengarnya. "Bukan jalang? Itu yang kau maksud?"

Meghan menatap pria dengan stelan jas hitam di depannya dengan pupil yang membulat penuh. Sial! Sepertinya pria itu tak percaya padanya. Ya Tuhan ... Bagaimana ini? Dia mulai cemas.

"Hm, Tuan Mafia. Aku benar-benar bukan wanita yang kau pesan. Aku cuma mahasiswi smester dua yang tersesat ke sini. Percayalah, tolong lepaskan aku," lirih Meghan. Kali ini ia memasang wajah melas.

Michele memicingkan satu alisnya. Matanya menelanjangi Meghan dari ujung kepala sampai ujung kaki.

Dilihat-lihat gadis ini lumayan juga, pikirnya. Persetan dia jalang atau bukan. Obat horny-nya sudah terlanjur bereaksi.

Meghan sangat terkejut melihat Michele melepaskan jas hitamnya, kemudian dasi, rompi, juga kemejanya.

Seketika otot-otot yang kencang menyembul dari permukaan kulit yang kecokelatan. Kotak-kotak di perut Michele mengingatkan Meghan pada roti sobek yang biasa ia makan di pagi hari.

Apa yang mau pria itu lakukan? Jantung Meghan berdegup semakin kencang saat Michele mendekat padanya dengan bertelanjang dada.

Tulisan-tulisan suci memenuhi dada bidang pria itu. Gila! Tubuhnya sangat bagus.

"Kenapa bengong? Kau suka melihat tubuhku?" bisik Michele ke wajah Meghan. Dia mengunci pandangan gadis itu dengan tatapan yang tajam yang menghipnotis.

Meghan kembali menelan ludah kasar. "A-aku sudah katakan jika aku bukan wanita yang kau pesan. Tolong jangan dekat-dekat," ucapnya tergugup.

Michele menunjukkan seringai tipisnya. "Persetan kau jalang atau bukan, layani aku sekarang."

"Hah?"

Meghan yang terkejut menatap dengan mulut yang sedikit terbuka. Dia sudah melakukan kesalahan yang fatal.

Michele yang sudah dalam pengaruh obat tak mau lagi ada penolakkan. Pria itu langsung menyambar rakus bibir Meghan dengan ciuman yang liar.

"Ummh! Ummh!"

Meghan berusaha berontak dengan memalingkan kepalanya ke kanan dan kiri. Namun, bukan hal sulit bagi Pangeran Mafia Riciteli menangani seorang gadis.

"Kau membuatku gemas." Michele menangkap kedua tangan Meghan setelah melepaskan ikatanya. Matanya menatap buas saat gadis itu menatapnya dengan nafas yang terengah-engah.

"Seksi," bisiknya, lantas kembali menyambar rakus bibir Meghan tanpa ampun.

Sementara itu di bar. Carlo tampak sibuk bermain game sambil duduk pada sofa panjang di sudut ruangan.

Dua orang bodyguard berdiri di masing-masing sisi, mengawasi dan menjaga adik bos mereka dengan baik.

Paolo tersenyum tipis seraya mendaratkan bokongnya pada sofa kosong di samping Carlo. "Hei, kau akan tidur di tempat rehabilitasi jika terus sibuk dengan smartphone-mu," ucapnya sambil menepuk satu bahu remaja laki-laki itu.

Tanpa memalingkan pandangan dari layar ponselnya, Carlo menjawab, "Siapa yang berani membawaku ke tempat rehabilitasi? Michele pasti akan menembak kepala mereka," ucapnya acuh.

Paolo tergelak tawa mendengar celoteh Carlo."Oh iya? Bagaimana jika kakakmu itu sendiri yang membawamu ke sana?" desisnya kemudian. Seringai tipis terbit di bibirnya saat Carlo menatap.

"Paolo, aku melihat pria mencurigakan di lorong. Lekas periksa!"

Suara itu mengejutkan mereka berdua. Baik Paolo maupun Carlo, keduanya mengalihkan pandangan pada Sergio yang datang menghampiri dengan tergesa-gesa.

"Siapa pria itu? Apa dia sudah bosan hidup sampai berani masuk ke sini?" Paolo bergegas bangkit. Dia bertanya pada Sergio yang kini berdiri di hadapannya.

"Entahlah. Cepat periksa," jawab Sergio memerintah.

Paolo berdecak jengah lantas pergi. Tiga orang bodyguard menyusulnya. Carlo yang masih duduk di sofa hanya menaikan kedua bahunya tak paham. Remaja itu kembali sibuk dengan ponselnya.

"Tuan Muda, ini sudah larut. Saya akan mengantar Anda ke kamar," ucap Sergio pada Carlo.

Anak laki-laki 16 tahun dengan stelan jas hitam itu tampak kesal. "Huh, padahal ini baru pukul sebelas," ucapnya seraya bangkit dari sofa.

"Silakan lewat sini, Tuan Muda." Sergio tak peduli dengan wajah sebal Carlo padanya. Pria itu membuka satu tangannya mempersilakan Carlo berjalan lebih dulu.

Di lorong tampak sepi. Sambil berjalan di depan Sergio, Carlo sibuk dengan permainan game pada layar ponselnya.

Sesekali remaja itu tersenyum sendiri, kadang pula mengumpat kesal. Sergio hanya mengikuti dengan wajah kakunya.

Mereka nyaris sampai di kamar Carlo. Namun tiba-tiba seseorang menyergap Sergio dari belakang. Pria itu tak sempat berteriak karena mulutnya di sumpal oleh sapu tangan. Pria misterius menyeretnya setelah Sergio pingsan.

"Yess! Sudah kukatakan jika tak ada gamer yang lebih hebat dari pria Italia ini!" Carlo memekik senang karena menang dalam permainan game-nya.

"Hei, di mana si kaku itu?" Dia baru menyadari jika Sergio tak berada di belakangnya. Carlo hanya menaikan kedua bahunya tak perduli. Dia segera melanjutkan langkah menuju kamarnya.

Pria berpakaian serba hitam tiba-tiba muncul dari balik dinding. Tangannya mencengkeram kuat pistol dalam genggaman. Wajahnya tak kelihatan jelas karena topi dan kain yang menutupi.

"Hello, Boy."

Carlo menolehkan kepalanya ke arah suara itu. Dia terkejut melihat pria misterius sedang berdiri di hadapannya.

Baru saja dia mau menjerit, pria itu langsung menyergap dan membungkam mulutnya dengan sapu tangan yang sudah diberi obat bius.

Setelah Carlo pingsan, pria itu segera menyeretnya pergi.

"Tuan Muda Carlo hilang! Cepat cari!" Paolo memerintah para bodyguard untuk mencari Carlo setelah menemukan Sergio tak sadarkan diri di dalam lift.

"Bos sedang sibuk dengan wanitanya. Dia akan mengamuk jika kita datang menganggunya." Sergio bicara pada Paolo setelah sadar. Mereka berjalan cepat menuju kamar VVIP di mana Michele berada.

"Akan lebih buruk jika kita tidak memberitahunya," ucap Paolo tanpa menoleh pada Sergio.

Sergio tak menimpali lagi. Sial! Paolo pikir dia jauh lebih tahu seperti apa Michele ketibang dirinya yang sudah lama melayani keluarga Riciteli?

Huh! Harusnya dia yang menjadi kaki tangan Michele, bukan Paolo yang ceroboh dan banyak cing cong itu, pikir Sergio sebal.

Di dalam kamar. Michele sedang memaksa Meghan menuruti maunya. Gadis itu tak henti berontak dan berteriak, padahal dia belum melepas celananya. Namun, penolakan itu membuat Michele semakin tertantang dan penasaran.

"Hentikan! Arrgh! Bajingan kau!" Meghan hanya bisa berteriak karena kedua tangannya dicengkeram kuat oleh Michele. Juga kedua kaki yang di tahan oleh kaki kekar pria itu.

"Diamlah, Jalang!" Michele sudah naik ke tubuh Meghan yang masih mengenakan mini dress-nya.

Nafasnya memburu dengan gairah yang sudah menggebu-gebu. Dia sibuk meliarkan ciuman-ciuman nakal pada ceruk leher hingga ke dada Meghan. Wangi tubuh gadis itu membuatnya semakin menggila.

"Ah, tidak!" Meghan memekik kaget saat pria itu mendesak area pentingnya yang masih tertutup oleh pakaian.

"Sial, aku tak tahan lagi." Michele melepaskan tangan Meghan. Kemudian beralih pada kedua bongkahan besar gadis itu. Meghan mengerang saat dia meremasnya dengan agak kasar.

Mata Meghan terpejam tak menentu. Dia menggigit bibir bawahnya saat pria itu melumat dan menghisap pada pucuk payudaranya.

Pacarnya saja belum pernah melakukanya. Ini perasaan yang asing baginya, tapi sensasinya sungguh luar biasa.

Melihat lawan mainnya sudah terangsang, Michele mulai melakukan foreplay dengan santai. Meghan mendesah saat ciuman itu bergerak turun ke pinggangnya.

"Bos, ada masalah! Tolong buka pintunya!"

Michele yang sedang menggebu-gebu dibuat geram mendengar suara Paolo dari luar pintu.

"Shit! Apa mereka sudah bosan hidup?"


Chapter 5 - ANJING PEMBURU


Alfa hitam melaju dengan kecepatan tinggi merajai jalan kota Roma malam itu. Pria bertopi duduk di depan kendali, kedua tangannya yang mengenakan sarung tangan hitam sibuk memutar kemudi.

Anak laki-laki yang terbaring di bangku tengah mobil mulai terjaga.

Carlo terkejut. Apa yang terjadi padanya?

Remaja enam belas tahun itu bergegas bangkit. Dia melihat ke sekitar. Benar, dia berada di dalam mobil yang asing. Matanya menyipit melihat pria misterius yang sedang mengemudi.

"Hei, siapa kau?!" tanyanya dengan suara meninggi.

Alberto Castaro, pria yang sedang mengemudikan mobil tak menjawab. Dia hanya menatap pada kaca spion di atasnya. Bibirnya menyeringai tipis melihat siluet Carlo dari sana.

"Hei, kau tuli? Siapa kau dan mengapa menculikku?!" Carlo berteriak lagi.

"Duduklah, Baby Boy. Kau akan segera tahu." Kali ini Alberto menjawab.

Carlo hanya menatap heran pada pria di depannya. Ini penculikan, dia harus menelepon Michele. Anak laki-laki itu meraba-raba saku jas dan celananya mencari ponsel.

"Ponselmu ada padaku. Diam dan jangan banyak bertanya. Kau paham?" ucap Alberto tanpa memalingkan pandangan dari jalan di depannya. Nada bicaranya terdengar dingin dan menekan.

"Hei, apa kau juga pencuri?!" geram Carlo.

"Anggap saja begitu." Alberto menanggapi dengan tenang.

"Shit!" Carlo bersandar lesu pada bangku mobil.

Sementara itu di hotel.

Michele bergegas bangkit meninggalkan wanita di tengah ranjang. Berahinya masih menggebu-gebu.

Apa yang mau Paolo sampaikan? Apakah kaki tangannya itu mau mengingatkan dia untuk menelan obat horny?

Dasar brengsek!

Dengan geram dan konak yang nyaris di ujung, Michele mengambar pistol yang tergelerak di nakas. Tubuh tinggi kekar bertelanjang dada itu menghambur menuju pintu.

"Bos."

Paolo sangat terkejut begitu pintu di buka. Michele sudah berdiri sambil menodongkan pistol ke wajahnya. Pria itu mundur satu langkah dengan mimik ketakutan.

"Apa kau sudah bosan hidup, hah?!" teriak Michele.

"Bos, maafkan kami," ucap Paolo. Kemudian dia mendekat pada Michele dan berbisik. "Tuan Muda Carlo di culik."

Michele membulatkan sepasang matanya terkejut. Kemudian dia bergegas masuk kamar dan menyambar pakaian.

Meghan yang masih berada di tengah ranjang hanya memandangi dengan ekpresi heran dan takut.

"Urus wanita itu." Michele memerintah pada anak buahnya untuk mengurus Meghan. Kemudian dia pergi.

"Mau apa kalian? Hei!" Meghan menjerit-jerit saat dua orang bodyguard maju dan langsung menangkap tangannya.

Sial! Mereka mengikatnya kembali di tengah ranjang. Meghan hanya bisa melontarkan kata-kata makian saat dua orang bodyguard itu pergi.

Mobil Alfa yang membawa Carlo terlihat melaju memasuki terowongan di tepi laut. Paolo dan anak buahnya segera bergerak.

"Jangan menembak, Tuan Muda Carlo ada di sana," ucap Paolo pada anak buahnya. Mereka berada satu mobil dan sedang mengejar mobil penculik.

"Hei, kemudikan mobilnya dengan benar! Astaga, aku ingin muntah!" Carlo berteriak pada Alberto karena pria itu mengemudikan mobil seperti sedang balapan di sirkuit.

Pria bertopi hitam yang sedang mengemudikan mobil tak perduli dengan suara cicitan Carlo. Para Mafia itu pasti sudah mengejar. Dia tidak akan dibiarkan hidup atau pun mati oleh mereka jika sampai tertangkap.

"Hentikan mobilnya! Perutku mual dan kepalaku pening!" Carlo tak henti berteriak.

Shit! Pria itu sepertinya benar-benar tuli. Remaja laki-laki dengan stelan jas hitam itu bergegas bangkit."Hentikan mobilnya, bodoh!" teriaknya lagi. Kali ini langsung ke telinga Alberto.

Pria itu dibuat terkejut. Secara reflek dia menampar Carlo dengan keras. Anak laki-laki itu terhempas kembali ke bangku tengah mobil.

"Shit, tamparanmu lumayan juga, Bung." geramnya sambil memegang pipi kirinya.

Alberto tak perduli. Dia semakin kencang melajukan mobil. Hingga saat tiba di tengah terowongan yang berada di jembatan, dia dibuat terkejut. Orang-orang Michele sudah berdiri menghadang sambil memegang senjata.

Mobil di rem mendadak. Carlo nyaris jatuh dari bangku mobil karenanya. Remaja itu mengumpat Alberto dengan kesal.

"Ho, lihatlah. Orang-orang Michele sudah di depan. Habislah kau penculik amatiran." Carlo mencibir sambil tersenyum remeh.

Ekor mata Alberto melirik ke samping di mana Carlo sedang tersenyum menyebalkan.

Shit! Apa yang harus dia lakukan? Para Mafia itu pasti akan menjadikannya camilan untuk di hidangkan esok pagi dengan kokain, atau memotong tubuhnya kecil-kecil untuk dijadikan pupuk kebun anggur.

Paolo menjentikkan jarinya sambil memandangi Alfa hitam di depan mereka. Empat orang anak buahnya segera maju. Mereka masing-masing memegang benda tumpul menyerupai pemukul base ball.

Nyali Alberto langsung menyusut. Matanya menoleh ke kanan dan kiri. Gila! Dia harus segera kabur sebelum mereka benar-benar mendapatkannya.

"Hei, apa yang mau kau lakukan?! Jangan bertindak bodoh atau orang-orang Michele akan mengulitimu!" Carlo memukul dan menendang saat Alberto menangkap tangannya.

Persetan dengan rengekan remaja laki-laki itu, Alberto bergegas membuka pintu mobil. Dia menyeret Carlo seperti sedang menyeret koper.

"Ayo melompat!" perintah Alberto seraya mendorong punggung anak laki-laki di depannya.

Mereka sedang berdiri di tepi jembatan St. Angelo Bridge atau Ponte Sant'angelo.

Ponte Sant'angelo, dulu disebut Jembatan Ailien atau Pons Aelius, yang berarti Jembatan Hadrian, adalah sebuah jembatan Romawi di Roma, Italia

yang dibangun pada tahun 134 AD oleh Kaisar Romawi Hardian.

Jembatan ini terbentang di tengah-tengah kota di atas Sungai Tiber dan terhubung dengan makam Kaisar Hadrianus di Castel Sant'angelo. Jembatan ini dilapisi oleh marmer travertin dan memiliki 5 lengkungan.

"Kau saja. Dasar sinting!" Carlo memberi wajah jengah.

"Ayo melompat, Riciteli Junior." Alberto yang geram menodongkan pistol pada Carlo sambil menatapnya tajam.

"Hei, hei, jangan main-main dengan benda itu. Kau dalam masalah besar jika sampai Michele melihatnya," ucap Carlo sambil mengangkat kedua tangannya. Kali ini dia tampak ketakutan.

"Cepat melompat!" Alberto kembali mendorong Carlo.

Paolo yang melihatnya hanya tersenyum geli. Kemudian dia maju menyusul empat orang anak buahnya.

"Hei, sudah cukup main-mainnya. Tuan Muda Carlo harus minum susu dan tidur. Dia tak boleh berada di luar pada jam segini," ucap Paolo dengan wajah manisnya.

Carlo hanya memutar bola matanya, bosan. Sementara Alberto langsung bersiaga. Pria itu merangkul bahu Carlo kemudian menodongkan pistol tepat ke kepala remaja itu.

"Jangan mendekat atau aku akan menembaknya!"

Paolo mengangkat satu tangannya, memberi isyarat agar semua anak buahnya menurunkan senjata mereka. Dia tak mau ambil resiko jika sampai Alberto benar-benar menembak Carlo.

"Mundur! Atau aku akan menembak bocah laki-laki ini!" Alberto menyeret Carlo menuju mobil tanpa menjauhkan pistolnya dari kepala remaja itu.

"Paolo! Hei, tolong aku, brengsek!" Carlo tampak ketakutan saat Alberto memaksanya masuk mobil.

Tatapan tajam Paolo tak luput dari mereka. Dia melirik pada beberapa anak buahnya. Mereka akan segera menembak sebelum Alberto menghidupkan mobil.

Duar!

Alberto ambruk pada kendali mobilnya. Satu tembakan bius mengenai punggung pria itu. Carlo hanya menaikan sudut bibirnya. Kemudian matanya terangkat ke langit hitam di atas.

"Baby Boy! You oke?!" Michele sedang berdiri di pintu helikopter.

Carlo hanya mengangguk sambil tersenyum kagum menanggapi.

"Bawa bedebah ini ke castil. Jangan sampai dia kabur." Michele bicara pada Paolo sambil menutup bagasi Alfa hitam di mana Alberto sedang meringkuk.

Paolo mengangguk. "Baik, Bos."

Michele bergegas pergi menuju mobil

Ferrari Competizione merah di mana Carlo sudah duduk manis menunggu.

"Kau datang terlalu cepat. Padahal aku ingin melihat penculik itu ketakutan lebih dulu," ucap Carlo pada Michele saat sang kakak memasuki mobil.

"Apa untungnya melihat orang ketakutan?" tanya Michele dengan acuh sambil mengenakan seat belt.

"Tentu saja ada. Kau sangat keren tapi juga payah!" Carlo melipat kedua tangannya di depan dada dengan ekpresi kesal.

"Ayo jalankan mobilnya, jam tidur Tuan Muda Carlo nyaris lewat." Michele bicara pada sopir yang sedang duduk di depan kemudi mobil.

Dia tak peduli dengan ocehan adiknya.

Melihat wajah dingin Michele, Carlo hanya memutar bola matanya bosan. Sport car merah itu pun melaju santai meninggalkan jembatan di susul empat mobil hitam.

Anjing Pemburu telah menyelesaikan tugasnya. Saatnya ia pulang dan menyantap hidangan malam yang sedang menunggu.


Chapter 6 - BERCINTA DENGAN BOS MAFIA

Malam merangkak larut. Meghan berusaha terjaga meski rasa kantuk menyerang. Dia tak boleh lengah. Hingga sosok tinggi sudah berdiri di hadapannya, gadis itu hanya berpura-pura tidur.

"Kalian berjaga-jagalah di luar," perintah Michele pada Paolo dan dua orang anak buahnya.

"Selamat menikmati hidangan malammu, Bos." Paolo menyeringai tipis lantas pergi. Pria itu sempat melirik pada gadis di tengah ranjang sebelum benar-benar enyah.

Michele masih memasang wajah dingin. Sepasang tungkai panjang itu diayunkannya menuju ranjang. Mata elangnya mengamati jengkal demi jengkal tubuh ramping di depannya.

'Hei, apakah dia sudah tidur?'

Pertanyaan itu muncul di hatinya seraya memandangi Meghan dengan kedua tangan di masukan ke dalam saku celana denimnya.

Meghan yang sedang berpura-pura tidur sangat terkejut saat tubuh kekar naik ke atas tubuhnya.

Dia berusaha memejamkan mata rapat-rapat. Meghan ayo tidur! Tuan Mafia sudah datang. Pria itu tak boleh sampai tahu jika dia sedang berpura-pura.

Michele tak perduli meski gadis itu tak merespon sentuhan liarnya. Apakah dia pingsan? Persetan dengan itu! Gairahnya sedang menggebu-gebu.

Sentuhan itu semakin menggila di sekitar pinggang dan perutnya. Meghan berusaha mati-matian merapatkan mata dan mulutnya.

Namun, dia tak tahan saat Michele menyentuh area intimnya dengan kecupan-kecupan nakal.

"Aaargh!"

Michele sedikit terkejut. Pria itu menyudahi aktivitasnya, lantas menatap Meghan dengan mata yang menyipit. "Mengapa berpura-pura tidur? Apa kau menyukainya? Aku cukup mahir melakukannya, bukan?"

Seringai pria itu membuat Meghan muak. Nafasnya terengah-engah. Dia berusaha menarik-narik ikatan tangan dan kakinya.

Namun semakin ia berontak, semakin terbuka kedua tungkainya, melebar. Tentu saja hal itu sangat menguntungkan Michele.

"Aku mendesignnya khusus untuk menyiksa para Jalang. Semakin kau menggerakkan kakimu maka aku akan lebih mudah memasukimu," bisik Michele.

"Bajingan, lepaskan aku!" Meghan berteriak ke wajah Michele.

Pria itu menarik seringai pada sudut bibirnya. "Diam dan nikmati saja. Kau akan ketagihan."

Meghan tak diberi kesempatan lagi. Meski untuk berteriak. Pria itu membungkam mulutnya dengan ciuman.

Ciuman yang bahkan belum pernah dia rasakan sebelumnya. Ciuman yang begitu panas dan lapar. Hanya para Mafia yang bisa segila ini.

"Argh!"

Meghan mengerang saat keperkasaan Michele mulai mendesaknya. Apakah ini benar-benar nyata? Dia akan bercinta dengan pria asing?

"Kau masih virgin? Aku harus membayar lebih," bisik Michele.

Meghan tak menjawab. Tubuhnya melemas saat pria itu bergerak liar di atasnya. Hingga di tengah permainan, dia hanya bisa berdesah dan mengerang saja.

Usianya baru 19 tahun. Meghan belum pernah melakukan hubungan seks. Meski dirinya pernah berkhayal melakukannya dengan pemuda yang dia cintai, tapi dia hanya bisa membayangkan.

Dia teringat saat teepaksa berbohong pada teman-temannya. Dia mengaku pernah berhubungan seks agar tidak di ejek oleh mereka. Namun, dia terlalu polos saat itu.

Ternyata seperti ini rasanya ... Sakit dan perih. Namun nikmat kemudian. Entahlah, sensasi apa itu ...

Hingga saat pria itu mengerang begitu gilanya, Meghan hanya memejamkan mata dan ingin semuanya segera berakhir.

Akhir yang mungkin akan menjadi awal perubahan terbesar dalam hidup seorang Meghan Crafson.

*

"Kami sudah memeriksa kamera pengawas, gadis itu pergi dengan taksi seorang diri," ucap Sergio sambil memandangi punggung pria dengan stelan jas hitam di depannya.

Prang!

Michele melempar gelas anggurnya ke lantai sampai pecah."Cepat cari gadis itu sampai dapat!"

"Baik, Bos." Sergio tergugup melihat kemarahan bosnya. Dia dan dua orang anak buahnya bergegas pergi.

"Sepertinya kau sangat menyukai gadis itu." Pria yang sedang duduk di sofa berkomentar.

Dante Cassio, rekan Michele yang baru datang dari Milan. Bibirnya menyeringai tipis sambil memutar gelas anggurnya menyambut Michele.

"Dia istinewa. Aku ingin bertemu dengannya lagi." Michele menjawab sambil berdiri di depan Dante.

"Istinewa? Waw! Apakah dia ..." Dante menerka-nerka sambil menatap pria jangkung di depannya.

Michele mengangguk.

Dante tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Kemudian dia menyesap pada gelas anggurnya sampai tandas.

Michele masih berdiri sambil memandang ke luar jendela besar di ruangan VIP itu.

Ini memang konyol! Namun luar biasa. Akhirnya ia bisa merasakan percintaan yang penuh sensasi bersama gadis itu.

"Aku bisa mencapai orgasme saat bercinta dengannya. Apakah aku sudah normal?" Michele bertanya pada dokter pribadinya.

Jacob, dokter pribadi Michele menggeleng. "Entahlah, tapi Anda harus mencobanya lagi."

"Maksudmu aku harus mencoba dengan wanita lainnya?" tanya Michele.

Jacob mengangguk.

Michele bersandar pada bangkunya. "Bawakan aku wanita malam ini juga," bisiknya pada Paolo yang berdiri setia di sampingnya.

*

"Madam Rose sudah mengirim wanita untuk Anda. Kami akan membawanya ke suite hotel di Hotel Columbus nanti malam." Paolo menemui Michele yang sedang bermain poker bersama Dante di bar casino miliknya.

"Aku akan ke sana setelah semuanya selesai," ucap Michele.

Dante tersenyum tipis mendengarnya. Matanya menatap pada Michele. "Bagaimana dengan Alberto?" tanyanya kemudian.

"Kita akan menemuinya sekarang." Michele menjawab dengan wajah datar-datar saja.

Tiga puluh menit berlalu. Mobil-mobil hitam menepi di wilayah kontruksi yang sudah lama terbengkalai. Paolo membuka pintu Perari merah yang berada di deretan paling depan.

Michele keluar dari mobil sambil membuka kancing jas hitamnya. Paolo mempersilakan ia berjalan menuju Alfa hitam yang berada di depan mereka.

Kaca mobil itu sudah hancur. Juga seluruh body mobil yang kelihatan penyok. Paolo dan orang-orangnya sudah menghancurkan mobil itu dengan benda tumpul.

Di dalam mobil, terlihat seorang pria dengan tubuh terlilit lakban warna hitam. Juga mulutnya yang di tutup lakban.

Alberto Castaro, para Mafia sadis itu menyiksanya habis-habisan di markas mereka.

Michele menghentikan langkahnya tepat di depan Alfa hitam. Bibirnya menyeringai tipis melihat kondisi pria di dalamnya yang sangat menyedihkan.

"Ambil bensin dan bakar mobil ini," perintahnya pada Paolo.

Sang anak buah bergegas menjalankan perintah. Paolo membawa beberapa jerigen berisi bensin.

Setelah Michele menjentikan jarinya, mereka segera menyiram Alfa hitam itu sambil tertawa puas.

Melihat dirinya akan di bakar hidup-hidup, Alberto berusaha berontak dan meraung. Matanya menatap nanar pada wajah rupawan berjiwa iblis, Michele Lazzaro Riciteli.

"Kau tidak akan bernasib semalang ini jika tidak bertindak bodoh. Inilah balasan bagi tangan yang berani menyentuh adikku," desis Michele. Kemudian ia menoleh pada Paolo sebelum mundur.

Dengan bersemangat Paolo bergegas maju. Pria itu mulai menyalakan korek api. Dia sempat memainkan korek apinya sambil tertawa puas di depan Alberto.

Melihat hal itu Dante hanya tersenyum tipis. Dia menepuk bahu Michele sebelum mereka masuk mobil dan berlalu.

"Sebelum aku membuatmu jadi abu untuk pupuk kebun anggur Riciteli, kau harus tahu seperti apa kami menyiksa putrimu," bisik Paolo pada Alberto. Pria itu tertawa besar saat mata Alberto menatapnya dengan penuh emosi.

"Kau lihat meja bilyar di markas kami? Di sana aku dan orang-orangku memperkosa putrimu. Ya, kami melakukannya bergantian dan berulang sampai dia pingsan." Paolo tertawa lagi.

Alberto hanya bisa mengepalkan buku-buku jemarinya mendengar ucapan bajingan itu. Tubuhnya terlilit lakban. Bahkan untuk mengumpat saja dia tak mampu.

"Hei, kau menangis? Kau pasti sedih mendengar nasib buruk putrimu. Asal kau tahu saja, bos kami yang pertama kali mencicipi tubuhnya. Kemudian dia melemparnya pada kami. Dia memang bos terbaik!" Paolo tak henti berkoar. Dia senang melihat Alberto tampak hancur.

Alberto yang sedang tenggelam pada kesedihan. Dia menyesal karena tak mampu menyelamatkan putrinya dari para anjing liar itu.

Emily yang malang. Tak ada gunanya dia terus hidup tanpa putrinya lagi. Alberto putus asa.

"Pak tua, kau membuatku muak!" Paolo memukul pintu mobil dengan keras. Dia kesal melihat Alberto menangis.

"Baiklah, aku akan mempercepat agar kau bisa segera bertemu dengan putrimu," ucapnya lagi.

Pria itu mulai menyalakan korek apinya. "Susulah putrimu ke Neraka!" ucapnya lantas melempar korek api itu pada Alfa hitam di depannya.

Alberto hanya memejamkan matanya, pasrah.

Sosok hitam yang muncul tiba-tiba menyambar tubuh Paolo. Pria itu sangat terkejut. Korek apinya terlepar entah kemana.

Paolo tak diberi kesempatan lagi. Pria itu langsung menghajarnya dengan pukulan-pukulan telak.

Dua orang anak buahnya bergegas maju untuk menolong Paolo. Mereka menarik jaket pria asing yang sedang menyerang Paolo dari belakang.

Namun tak semudah yang mereka bayangkan. Setelah Paolo di lumpuhkan, pria itu langsung berbalik menghajar mereka dengan brutal.

Paolo tak sadarkan diri setelah di pukul habis-habisan. Dua orang anak buahnya pun sudah tergolek tak berdaya.

Pria asing dengan jaket hitam segera bangkit. Kemudian berjalan cepat menuju Alfa hitam di sana.

"Anda baik-baik saja?"

Alberto sangat terkejut melihat wajah pria asing yang datang menolongnya.

"Letnan Jose?"


Chapter 7 - GAGAL KLIMAKS


Moly baru saja keluar dari kamar mandi saat mendengar pintu apartemennya di ketuk dari luar.

'Siapa yang datang?'

Ekor mata gadis berambut pirang itu melirik ke arah jam dinding yang sudah menunjuk angka delapan. Sambil mengeringkan rambutnya yang masih basah dengan handuk, Moly berpikir.

Pintu kembali di ketuk. Kali ini semakin keras dan berulang-ulang. Jantung Moly berdegup kencang. Dilempar handuk di tangannya. Kemudian secara perlahan dan curiga, gadis itu berjalan menuju pintu.

Rasa cemas membuat jarinya sampai gemetaran. Moly mengintai dari celah kecil pada pintu sebelum meraih handle keemasan di depannya.

"Kenapa lama sekali membuka pintunya?" Meghan menyambut dengan wajah kesal saat pintu dibuka. Setelah menoleh ke kanan dan kirinya, ia menerobos masuk.

Moly dibuat mematung sesaat melihat siapa yang datang. Setelah berhasil menetralkan rasa terkejutnya, dia bergegas menutup pintu, lantas berjalan cepat menuju Meghan.

"Astaga, aku lapar dan haus. Apa kau punya makanan?"

Moly menatap heran melihat Meghan yang sedang mondar-mandir di dapur. Gadis itu tampak baik-baik saja. Meghan sibuk menjelajah isi lemari es di sana.

"Meghan, aku nyaris tak percaya! Kau baik-baik saja? Aku sangat mencemaskan dirimu, sungguh!"

Moly segera memeluk Meghan dari belakang setelah menyadari jika gadis yang datang ke apartemen benar-benar Meghan, temannya, bukan roh Meghan yang mati di tangan para Mafia.

"Hei, kau ini kenapa? Aku baik-baik saja." Meghan menatap heran pada prilaku aneh Moly.

"Meghan, ceritakan padaku apa yang terjadi setelah aku pergi? Aku benar-benar menyesal," ucap Moly sambil memandangi Meghan yang sedang melahap sepotong hotdog sambil duduk di meja makan.

"Kau tahu? Tadi pagi-pagi sekali Jose datang ke sini. Pasti dia mencarimu. Aku tak berani membuka pintu, akhirnya dia pergi juga. Syukurlah kau baik-baik saja." Moly melanjutkan setelah menuangkan jus untuk Meghan.

Dengan mulut penuh Meghan menjawab, "Kau pasti tidak akan percaya apa yang sudah aku alami di markas para Mafia itu."

"Oh iya?" Moly menatap dengan antusias.

Meghan mengangguk. Dia menelan makanan di mulutnya lalu bicara lagi."Moly, kau pernah mengejekku karena aku belum pernah tidur dengan seorang pria, bukan? Kau tahu? Aku telah tidur dengan bos para Mafia itu!"

Moly melebarkan pupil matanya mendengar ucapan Meghan. "Apa? Apa kau menjadi korban pemerkosaan, hah?"

Sambil mengunyah Meghan menggeleng. "Entahlah, mungkin itu pemerkosaan tapi aku menikmatinya, sungguh."

Moly yang tak habis pikir semakin penasaran dengan cerita Meghan. Dia mendekat pada gadis itu, lalu duduk di sampingnya.

"Seperti apa bos para Mafia itu? Ayo ceritakanlah," bujuknya pada Meghan seraya menyenggol lengan gadis itu disertai senyuman jahil.

Meghan mengulas senyum dengan pipinya yang bersemu merah. Pertanyaan Moly membuatnya mengingat kembali apa yang sudah dirinya lalui dengan si Tuan Mafia.

"Tingginya sekitar 1,9m. Tubuhnya berotot dan sangat indah. Kurasa Tuhan membentuk tubuhnya dengan sangat hati-hati. Dia juga sangat tampan dan liar," jawab Meghan lalu menggigit hotdog-nya dengan acuh.

Moly tersenyum mendengarnya. "Lalu siapa namanya, dan se-liar apa dia saat menyentuhmu? Ayolah, ceritakan semuanya. Aku benar-benar penasaran."

Meghan menahan senyumnya. "Entahlah, aku tak tahu namanya. Namun, dia benar-benar liar seperti seekor kuda."

"Waw!" Moly tampak takjub mendengarnya.

Meghan menoleh ke arah gadis yang duduk di samping. "Kau tahu, Moly? Saat kau menemukan seorang pria yang benar-benar gila, dia mewujudkan fantasi seks yang selama ini kau bayangkan. Aku ingin bertemu dengannya lagi."

"Hei, apa kau sudah gila? Untuk apa menemuinya lagi? Dia bos para Mafia, dia punya senjata di balik punggungnya. Jika mau melakukan seks, kita bisa cari pria di tempat lain. Lupakan dia." Moly mencoba menyadarkan Meghan yang sedang konslet otaknya.

Meghan tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Hal itu membuat Moly benar-benar curiga jika temannya memang sudah tidak waras.

Setelah memudarkan senyumnya, Meghan bicara dengan tatapan bersungguh pada Moly. "Aku cuma mau dia."

"Kau benar-benar sudah tidak waras." Moly menggeleng, lantas turun dari meja. "gantilah pakaianmu, kau kelihatan seperti korban pemerkosaan tahu!"

Meghan hanya tertawa kecil mendengarnya. 'Tuan Mafia, kita pasti akan bertemu lagi,' ucapnya cuma dalam hati.

Sementara itu di salah satu kamar suite hotel di Hotel Columbus.

Michele sedang berdiri sambil membuka kedua tungkainya. Di bawahnya, seorang wanita sedang sibuk memainkan batang berurat miliknya yang sudah mengeras kencang.

"Shit! Lakukan dengan benar," desis Michele seraya menjambak rambut merah wanita di hadapannya. Dia menekan dengan kasar kepala wanita itu sampai miliknya benar-benar masuk sempurna.

'Namanya Meghan Crafson, dia mahasiswi smester dua Universitas Columbia fakultas kedokteran. Kakaknya seorang petugas polisi. Mereka baru tinggal di Roma selama empat bulan.'

"Sshhh, Meghan--"

Desahan itu lolos dari bibir Michele. Dia menyebut nama gadis yang bercinta dengannya kemarin malam. Meghan, gadis itu benar-benar membuatnya menggila sepanjang percintaan panas itu.

Sergio sudah mendapatkan profil Meghan. Namun, mereka belum menemukan tempat tinggalnya. Itu tidak penting juga bagi Michele. Dia bisa menyuruh orang-orangnya untuk menculik Meghan di kampus.

Namun, dia tak perlu juga menculik Meghan jika dirinya sudah benar-benar normal, bisa mencapai orgasme meski dengan wanita lainnya.

"Umhhh!"

Wanita itu mengerang saat milik Michele meledak di mulutnya. Dia bersusah payah menelan semua cairan pria itu sampai air matanya menetes. Setelah itu Michele dengan kasar menendangnya sampai tersungkur ke lantai.

"Tuan?"

Wanita itu menoleh tak mengerti. Mengapa Michele tampak marah padanya? Padahal dia sudah menelan semua cairan tanpa ada yang sisa. Apa yang membuat pria itu marah?

"Kau, kau bukan wanita yang bisa membuatku mencapai kenikmatan itu. Enyah kau dari sini sebelum aku menembak kepalamu. Enyah dari sini, Jalang sialan!"

Michele bicara dengan mata yang melotot merah dan rahang yang menggeretak. Dia gagal lagi mencapai orgasme. Entah apa yang terjadi padanya? Pastinya dia benar-benar ingin mengamuk saat ini.

Melihat Bos Mafia yang begitu murka, Wanita itu buru-buru mengenakan pakaian lantas pergi. Michele bisa saja menembak kepalanya seperti yang pernah terjadi pada beberapa wanita panggilan lainnya.

Prang!

Sergio dan Paolo dibuat terkejut saat Michele menyambut mereka dengan melempar gelas anggurnya ke lantai. Dua orang pria berpakaian formal itu saling pandang heran dan cemas. Namun mereka tak berani bertanya pada Michele.

"Alberto, pria itu lepas dari tanganmu? Apa kau sudah bosan hidup, Paolo?"

Jantung Paolo berdegup kencang dengan tenggorokan yang tercekat mendengar namanya disebut lebih dulu oleh Michele.

Dengan tergugup, ia bergegas maju."Aku nyaris saja membakarnya, tapi tiba-tiba seseorang muncul dan berhasil membawanya pergi. Aku sudah menyuruh beberapa orang untuk mencarinya."

Michele mengepalkan buku-buku jemarinya sambil memandangi pemandangan di luar jendela ruangan VIP itu. "Aku tak mau tahu, cepat cari si tua bangka itu lalu bawa dia ke markas," desisnya.

Paolo mengangguk cepat."Baik, Bos. Kami akan membawanya kurang dari dua puluh empat jam."

"Enyah dari sini," perintah Michele seraya mengibaskan tangan tanpa mau melihat wajah bodoh Paolo.

Setelah Paolo pergi, tinggalah Sergio yang masih berdiri di belakang Michele. Berbeda dengan Paolo, dia tak tahu apa salahnya sampai Michele memanggilnya ke ruangan yang seramnya melebihi Neraka.

"Aku mau gadis itu, bawa dia padaku. Aku mau dia sudah ada di kamarku saat aku kembali dari Milan," ucap Michele pada Sergio. Matanya masih sibuk memandangi gedung-gedung tinggi yang mengelilingi gedung bar casino miliknya.

"Maksud Anda, Nona Meghan?"

Sergio hanya memastikan. Namun pertanyaan itu membuat Michele sangat murka.

Tubuh tinggi di balut stelan jas hitam itu memutar cepat menghadap pada Sergio. Pria itu dibuat sangat terkejut saat Michele menyambar lehernya dengan cengkeraman kuat.

"Kau masih bertanya? Kau mau aku mengukir namanya di dahimu dengan belati? Atau memindahkan otakmu ke perut, hah?! Kau masih bertanya?" Michele menatap Sergio sudah seperti iblis yang ingin memakan orang.

Sergio tergugup ketakutan. Dia merutuki dirinya dalam hati karena lisannya barusan. "Aku akan mencarinya segera. Aku akan membawanya ke kamarmu, aku janji."

Michele mengangguk, lantas melepaskan Sergio dengan kasar sampai pria itu tersungkur ke meja. Sergio buru-buru bangkit lalu merapikan pakaiannya.

"Cepat pergi dari sini," ucap Michele lantas memutar tubuhnya membelakangi Sergio.

Meghan, mengapa hanya wanita itu yang mampu membuatnya merasakan orgasme? Apa-apaan ini? Michele menggeleng seraya memejamkan matanya penuh emosi.

Mata iblisnya melirik pada seekor kupu-kupu yang hinggap di kuntum bunga Lily.

Michele menatap buas pada hewan itu, rahangnya mengeretak. Dengan cepat dia menangkap kupu-kupu itu lalu memasukannya ke dalam mulut.

Michele mengunyah sudah seperti sedang memakan permen karet. Rasanya tak jauh berbeda dari laba-laba yang pernah dia makan sewaktu kecil.


Comments


bottom of page